Rabi'ah tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga yang terbiasa dengan kehidupan orang saleh dan zuhud. Sejak kecil sudah tampak kecerdasan Rabi'ah, sesuatu yang biasanya tak terlihat pada gadis kecil seusianya. Karena itu pula sejak kecil ia sudah menyadari kepapaan dan penderitaan yang dihadapi orangtuanya. Kendati demikian, hal itu tidak mengurangi ketakwaan dan pengabdian keluarga Rabi'ah kepada Allah.
Dalam kehidupan sehari-hari, ia selalu memperhatikan bagaimana ayahnya melakukan ibadah kepada Allah, dengan membaca al-Qur'an dan berdzikir. Ia pun selalu melakukan ibadah kepada Allah sesuai dengan yang telah dilihat dan didengarnya dari ayahnya. Pernah Rabi'ah mendengar ayahnya berdoa memohon kepada Allah dan semenjak itu lafal-lafal doa itu tidak pernah hilang dari ingatannya, selalu diulang-ulang dalam doanya.
Dengan akhlak yang mulia, tidak jarang Rabi'ah membangkitkan rasa kagum ayahnya. Ia tidak pernah mencaci orang atau menyakiti perasaan manusia. Pernah pada suatu hari, ketika seluruh anggota keluarga telah duduk di sekitar meja makan, kecuali Rabi'ah. Diceritakan oleh Muhammad Atiyah Khamis sebagai berikut:
Ia masih berdiri memandang ayahnya, seolah minta penjelasan dari ayahnya mengenai makanan yang terhidang. Karena ayahnya masih berdiam diri, Rabi'ah berkata, "Ayah, aku tidak ingin ayah menyediakan makanan yang tidak halal." Dengan keheranan ayahnya menatap muka putrinya yang masih kecil itu, yang telah memperlihatkan iman yang kuat. Ayahnya menjawab, "Rabi'ah, bagaimana pendapatmu jika tiada lagi yang bisa kita peroleh kecuali barang yang haram?" Rabi'ah menjawab, "Biar saja kita menahan lapar di dunia, itu lebih baik daripada kita menahannya kelak di akhirat dalam api neraka."
Saat masih kecil, Rabi'ah adalah gadis yang saleh. Apalagi setelah kedua orangtuanya meninggal dunia. Ia menjadi anak yatim piatu yang tidak mewarisi harta benda dari orangtuanya. Kakaknya pun belum dewasa. Dalam usia yang masih muda belia, Rabi'ah dan kakak-kakaknya harus mencari pekerjaan untuk bertahan hidup.
Satu-satunya peninggalan orangtuanya yang agak berarti adalah sebuah perahu kecil yang dipakai ayahnya untuk mencari nafkah. Rabi'ah melanjutkan pekerjaan ayahnya menyeberangkan orang di sungai Dajlah. Menurut cerita, Rabi'ahlah yang paling siap mental maupun fisiknya untuk hidup mandiri dibandingkan ketiga kakaknya. Ia sering menangis karena teringat kedua orangtuanya. Namun ia juga tak jarang menangis tanpa sebab yang ia ketahui. Pernah suatu sore, sepulang dari sungai, Rabi'ah menangis tersedu-sedu, lalu kakaknya, 'Abdah, menegurnya, "Apa yang sedang engkau sedihkan Rabi'ah?"
"Tak tahulah aku, namun aku merasa sedih sekali." Jawabnya.
Dan Rabi'ah terus saja menangis.
Di sela-sela isaknya ia berkata, "Aku merasakan suatu kesedihan yang aneh sekali. Tak tahulah aku sebabnya. Seolah-olah ada suatu jeritan di lubuk hatiku yang menyebabkan aku menangis. Bagaikan suatu munajat di dalam pendengaranku, yang tak dapat aku hadapi kecuali dengan mengucurkan air mata."
Setelah peristiwa itu, Rabi'ah selalu bermimpi pada malam hari, berulang-ulang dengan mimpi yang sama. Dalam mimpi itu, Rabi'ah melihat cahaya yang sangat terang, yang akhirnya menyatu dalam tubuh dan jiwanya. Setelah beberapa malam mimpi itu hadir dalam tidurnya, maka pada suatu siang, saat Rabi'ah berada sendirian di atas perrahunya, nyatalah mimpi itu. Rabi'ah menatap cakrawala, tiba-tiba ia mendengar suara yang sangat merdu.
Lebih indah dari senandung serunai yang merdu
di kegelapan malam terdengar bacaan al-Qur'an.
Alangkah bahagianya karena Tuhan mendengarnya.
Suara yang merdu membangkitkan keharuan,
dan air mata pun bercucuran.
Pipinya sujud menyentuh tanah bergelimang debu,
sedang hatinya penuh cinta Ilahi.
Ia berkata, Tuhanku, Tuhanku
Ibadah kepada-Mu meringankan deritaku.
Rabi'ah segera beranjak pulang dan ingin segera tidur karena sudah mengantuk. Akan tetapi ada kejadian yang sangat mengejutkannya lagi. Tempat tidurnya diselimuti oleh cahaya yang menyenandungkan kalimat yang pernah didengarnya, dan memanggil Rabi'ah, "Hai Rabi'ah, belum datangkah saatnya engkau kembali kepada Tuhanmu? Ia telah memilihmu, menghadaplah kepada-Nya."
Peristiwa-peristiwa tersebut mengantarkan Rabi'ah kepada kehidupan yang penuh dengan ibadah kepada Allah Swt.
bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar