Nama
bulan ini berakar dari kata bahasa Arab tasya’aba yang berarti berpencar.
Pada masa itu kaum Arab biasa pergi memencar, keluar mencari air. Bulan Sya’ban
juga berasal dari kata sya’aba yang berarti merekah atau
muncul dari kedalaman, karena ia berada di antara dua bulan yang mulia.
Peristiwa yang Terjadi
di Bulan Sya’ban
1. Pindah Kiblat
Pada
bulan Sya’ban kiblat berpindah dari Baitul Maqdis Palestina ke Ka’bah Mekah
al-Mukaramah. Demikian peristiwa itu terjadi setelah turun ayat:
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ
وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ
شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
“Sungguh
Kami melihat wajahmu kerap menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan
memalingkanmu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah wajahmu ke arah
Masjidil Haram.” (QS.
al-Baqarah: 144).
2. Turun Ayat Shalawat
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
“Sungguh Allah dan para malaikat-Nya bershalawat
untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, shalawatlah kamu untuk Nabi dan
ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. al-Ahzab: 56).
Keutamaan Bulan Sya’ban
1. Diangkatnya Amal
Manusia
عَنْ أُسَامَةُ بْنُ
زَيْدٍ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ لَمْ أَرَكَ تَصُوْمُ شَهْرًا مِنَ الشُّهُوْرِ
مَا تَصُوْمُ مِنْ شَعْبَانَ، قَالَ ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ
رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيْهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِيْنَ،
فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِيْ وَأَنَا صَائِمٌ
Dari
Usamah bin Zaid ra, ia berkata: “Aku berkata,
“Ya Rasulullah, saya tidak melihat engkau berpuasa di satu bulan melebihi
puasamu di bulan Sya’ban.” Rasulullah menjawab, “Ini adalah bulan yang
dilalaikan oleh kebanyakan manusia, yaitu antara bulan Rajab dan Ramadhan. Di bulan
inilah amal perbuatan manusia diangkat kepada Rabb semesta alam. Karena itu aku
ingin saat amalku diangkat kepada Allah, aku sedang berpuasa.” (HR.
An-Nasa’i).
2. Disebut sebagai Bulan
al-Qur’an
Imam Ibn
Rajab al-Hanbali meriwayatkan dari Anas, “Kaum Muslimin ketika memasuki bulan
Sya’ban mereka menekuni pembacaan ayat-ayat al-Qur’an dan mengeluarkan zakat
untuk membantu orang yang lemah dan miskin agar mereka bisa menjalankan ibadah
puasa Ramadhan.
3. Puasa Sunnah di Bulan
Sya’ban
Aisyah ra berkata:
مَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ،
وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ
“Aku tidak pernah sama sekali melihat
Rasulullah Saw berpuasa
secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan. Aku pun tidak pernah
melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Aisyah ra berkata:
لَمْ يَكُنِ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُوْمُ
شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُوْمُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
“Nabi Saw tidak pernah berpuasa pada satu
bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban. Nabi Saw biasa berpuasa pada
bulan Sya’ban seluruhnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ummu Salamah ra berkata:
أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يَصُوْمُ مِنَ السَّنَةِ شَهْرًا تَامًّا
إِلاَّ شَعْبَانَ يَصِلُهُ بِرَمَضَانَ
“Bahwasanya Nabi Saw tidak berpuasa (sunnah) sebulan penuh dalam setahun
kecuali di bulan Sya’ban, dan beliau menyambungnya dengan bulan Ramadhan.” (HR. Nasa’i).
Keistimewaan Malam
Nishfu Sya’ban
Hadits
Pertama
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ
رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : يَطَّلِعُ اللهُ عَزَّ
وَجَلَّ إِلىَ خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِعِبَادِهِ
إِلاَّ لاِثْنَيْنِ مُشَاحِنٍ وَقَاتِلِ نَفْسٍ . أخرجه أحمد
“Dari Abdullah bin Amr, dari Rasulullah Saw bersabda: “Allah Swt melihat
kepada makhluk-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, lalu memberikan ampunan kepada
hamba-hamba-Nya kecuali dua orang yang tidak diampuninya, yaitu orang yang
bermusuhan dan pembunuh orang.” (HR. Ahmad dalam al-Musnad [2/176]
dengan sanad yang lemah, sebagaimana dapat dilihat dalam al-Targhib wa
al-Tarhib [3/284] dan Majma’ al-Zawaid [8/65]).
Hadits Kedua
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : يَطَّلِعُ اللهُ إِلَى
خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيْعِ خَلْقِهِ
إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ . أخرجه ابن حبان في صحيحه والطبراني،
وأبو نعيم في الحلية.
“Dari Mu’adz bin Jabal, dari Rasulullah Saw bersabda: “Allah Swt
melihat kepada makhluk-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, lalu memberikan ampunan
kepada seluruh makhluk-Nya kecuali kepada orang yang menyekutukan Allah atau
orang yang bermusuhan.” (HR. Ibn Hibban dalam Shahih-nya
[12/481], al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [20/109] dan al-Mu’jam
al-Ausath, dan Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’ [5/195], semuanya
dari jalur Makhul, dari Malik bin Yukhamir dari Mu’adz secara marfu’.
Al-Hafizh al-Haitsami berkata dalam Majma’ al-Zawaid [8/65], “Hadits
tersebut diriwayatkan oleh al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir dan al-Mu’jam
al-Ausath, dan para perawinya dapat dipercaya”. Malik bin Yukhamir seorang
perawi tsiqah dan mukhadhram (generasi tabi’in yang
mengikuti masa Jahiliyah), sedangkan Makhul pernah menjumpainya, sehingga
hadits ini tidak mengalami keterputusan (inqitha’), sebagaimana asumsi
sebagian kalangan. Kesimpulannya, Ibnu Hibban sangat tepat dalam menilai shahih
hadits tersebut.
Hadits di atas juga diriwayatkan dari jalur: Abu
Hurairah oleh al-Bazzar dalam Musnad-nya [2/436], jalur Abu
Tsa’labah al-Khusyani oleh al-Thabarani [Majma’ al-Zawaid 8/65]
dan Ibnu Abi Ashim dalam al-Sunnah [1/223], jalur Auf bin Malik
oleh al-Bazzar [2/463], jalur Abu Bakar al-Shiddiq oleh Ibnu
Khuzaimah dalam al-Tauhid [no. 90] dan Ibnu Abi Ashim [no. 509], 7),
jalur Abu Musa oleh Ibnu Majah [1/446] dan al-Lalaka’i [no. 763]
dan jalur Aisyah oleh Ahmad [6/238], al-Tirmidzi [3/107] dan Ibnu
Majah [1/445].
Kesimpulan dari riwayat-riwayat tersebut
adalah menetapkan keutamaan malam Nishfu Sya’ban secara khusus, dan salah satu
dari riwayat di atas telah dishahihkan oleh Ibnu Hibban. Bahkan al-Albani
– ulama Salafi-Wahabi -, juga menilainya shahih dalam Silsilah al-Ahadits
al-Shahihah [1144], dalam Shahih Sunan Ibn Majah [1/233] dan dalam ta’liq
terhadap kitab al-Sunnah karya Ibnu Abi Ashim [no. 509, 510, 511 dan
512). Riwayat yang shahih ini, sekaligus menaikkan riwayat-riwayat lainnya yang
dianggap dha’if menjadi hasan lighairihi sebagaimana telah
menjadi ketetapan dalam ilmu hadits.
Syaikh Ibnu Taimiyah, berkata dalam fatwanya:
وَقَدْ سُئِلَ ابْنُ تَيْمِيَّةَ
رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى عَنْ صَلاَةِ لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ
فَأَجَابَ : إِذَا صَلَّى اْلإِنْسَانُ لَيْلَةَ النِّصْفِ وَحْدَهُ أَوْ فِيْ
جَمَاعَةٍ خَاصَّةٍ كَمَا كَانَ يَفْعَلُ طَوَائِفُ مِنَ السَّلَفِ فَهُوَ حَسَنٌ.
وَقَالَ فِيْ مَوْضِعٍ آخَرَ : وَأَمَّا لَيْلَةُ النِّصْفِ فَقَدْ رُوِيَ فِيْ فَضْلِهَا
أَحَادِيْثُ وَآَثاَرٌ وَنُقِلَ عَنْ طَائِفَةٍ مِنَ السَّلَفِ أَنَّهُمْ كَانُوْا
يُصَلُّوْنَ فِيْهَا فَصَلاَةُ الرَّجُلِ فِيْهَا وَحْدَهُ قَدْ تَقَدَّمَهُ
فِيْهِ سَلَفٌ وَلَهُ فِيْهِ حُجَّةٌ فَلَا يُنْكَرُ مِثْلُ هَذَا.
“Ibnu Taimiyah ditanya tentang shalat malam Nishfu Sya’ban, maka
ia menjawab: “Apabila seseorang menunaikan shalat pada malam Nishfu Sya’ban,
sendirian atau bersama jamaah tertentu sebagaimana dikerjakan oleh banyak
kelompok kaum salaf, maka hal itu baik.” Di tempat lain, Ibnu Taimiyah juga
berkata: “Adapun malam Nishfu Sya’ban, telah diriwayatkan banyak hadits dan
atsar tentang keutamaannya dan telah dikutip dari sekelompok kaum salaf bahwa
mereka menunaikan shalat pada malam itu. Jadi shalat yang dilakukan oleh
seseorang sendirinya pada malam tersebut, telah dilakukan sebelumnya oleh kaum
salaf dan ia mempunya hujjah, oleh karena itu hal seperti ini tidak boleh
diingkari.” (Majma’ Fatawa Ibni Taimiyah [3/131-132].
Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali, salah
seorang murid Ibnu Taimiyah, juga berkata dalam kitabnya Lathaif al-Ma’arif
sebagai berikut:
وَلَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ
كَانَ التَّابِعُوْنَ مِنْ أَهْلِ الشَّامِ يُعَظِّمُوْنَهَا وَيَجْتَهِدُوْنَ
فِيْهَا فِي الْعِبَادَةِ، وَكَانَ خَالِدُ بْنِ مَعْدَانَ وَلُقْمَانُ بْنِ
عَامِرٍ وَغَيْرُهُمَا مِنْ تَابِعِي الشَّامِ يَقُوْمُوْنَ فِي الْمَسْجِدِ
لَيْلَةَ النِّصْفِ، وَوَافَقَهُمُ اْلإِمَامُ إِسْحَاقُ ابْنُ رَاَهَوْيه عَلىَ
ذَلِكَ، وَقَالَ فِيْ قِيَامِهَا فِي الْمَسَاجِدِ جَمَاعَةً : لَيْسَ ذَلِكَ
بِبِدْعَةٍ . انتهى باختصار وتصرف .
“Malam Nishfu Sya’ban, kaum Tabi’in dari penduduk Syam
mengagungkannya dan bersungguh-sungguh menunaikan ibadah pada malam tersebut.
Khalid bin Ma’dan, Luqman bin Amir dan lain-lain dari kalangan tabi’in Syam
mendirikan shalat di dalam Masjid pada malam Nishfu Sya’ban. Perbuatan mereka
disetujui oleh al-Imam Ishaq Ibnu Rahawaih. Ibnu Rahawaih berkata mengenai
shalat sunnah pada malam Nishfu Sya’ban di Masjid-masjid secara berjamaah: “Hal
tersebut tidak termasuk bid’ah.” (al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali, Lathaif
al-Ma’arif [h. 263] dengan disederhanakan).
Al-Imam al-Syafi’i berkata dalam kitab al-Umm sebagai
berikut:
( قال
الشَّافِعِيُّ ) وَبَلَغَنَا أَنَّهُ كان يُقَالُ إنَّ الدُّعَاءَ يُسْتَجَابُ في
خَمْسِ لَيَالٍ في لَيْلَةِ الْجُمُعَةِ وَلَيْلَةِ الْأَضْحَى وَلَيْلَةِ
الْفِطْرِ وَأَوَّلِ لَيْلَةٍ من رَجَبٍ وَلَيْلَةِ النِّصْفِ من شَعْبَانَ
Al-Syafi’i berkata: “Telah sampai kepada kami bahwasanya selalu
dikatakan bahwa permohonan akan dikabulkan dalam lima malam, yaitu malam
Jum’at, malam hari raya idul adha, malam hari raya idul fitri, awal malam di
bulan Rajab dan malam Nishfu Sya’ban.” (Al-Imam al-Syafi’i, al-Umm [1/231]).
Puasa Setelah Nishfu Sya’ban
Bagaimana maksud hadits berikut:
إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلاَ تَصُوْمُوْا
"Apabila sudah pertengahan
Sya'ban, maka janganlah kalian berpuasa."
(HR. Abu Dawud, Tirmidzi
dan Ibnu Majah).
Penjelasan: Puasa
pada tanggal 16 sampai 30 Sya'ban itu HARAM, kecuali : 1. Puasa wajib, seperti puasa nadzar
& qodho. 2. Puasa sunnah yang sudah menjadi
kebiasaannya, seperti puasa Daud atau Senin-Kamis. 3. Bila puasa pada tanggal
15 maka ia boleh puasa tanggal 16, kalau tanggal 16 puasa maka ia boleh puasa
tanggal 17, dst... tapi kalau ia tidak puasa tanggal 18 maka ia haram puasa
tanggal 19, dst.
- I’aanah at-Thoolibiin II/273 :
قوله
وكذا بعد نصف شعبان ) أي وكذلك يحرم الصوم بعد نصف شعبان لما صح من قوله صلى الله
عليه وسلم إذا انتصف شعبان فلا تصوموا( قوله ما لم يصله بما قبله ) أي محل الحرمة
ما لم يصل صوم ما بعد النصف بما قبله فإن وصله به ولو بيوم النصف بأن صام خامس
عشره وتالييه واستمر إلى آخر الشهر فلا حرمة
(Keterangan ‘begitu juga haram puasa setelah
nisyfu sya’ban) berdasarkan hadits “Bila bulan sya’ban telah menjadi separuh,
janganlah kalian berpuasa”. Keharaman ini dengan catatan bila puasa setelah
hari nisyfu sya’ban (tanggal 16-pen) tersebut tidak disambungkan dengan puasa
sebelumnya, bila disambungkan meskipun dengan berpuasa ditanggal separuh bulan
sya’ban (meskipun hanya disambungkan dengan puasa pada tanggal 15) dan kemudian
disambung dengan hari setelahnya hingga tanggal 30 (syaum assyak) maka tidak
lagi dihukumi haram.
- Nail al-Authaar IV/349 :
وقد
قطع كثير من الشافعية بأن ابتداء المنع من أول السادس عشر من شعبان واستدلوا بحديث
العلاء بن عبد الرحمن عن أبيه عن أبي هريرة مرفوعا : ( إذا انتصف شعبان فلا تصوموا
) أخرجه أصحاب السنن وصححه ابن حبان وغيره
Menurut pendapat kebanyakan ulama dari
kalangan syafiiyyah permulaan larangan puasa sya’ban adalah tanggal 16 sya’ban
dengan tendensi hadits riwayat al’Allaa’ Bin Abdur Rohman dari ayahnya dari Abu
hurairah ra “Bila bulan sya’ban telah menjadi separuh, janganlah kalian
berpuasa” (HR . Ashaab assunan disahihkan oleh Ibnu Hibban dan lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar