Perjalanan Isra dan Mi’raj merupakan perjalanan yang penuh berkah yang menunjukkan betapa Maha Kuasanya Allah Swt. Bagaimana seorang hamba, yakni Nabi Muhammad Saw,
bersama ruh dan jasadnya menempuh jarak ribuan, bahkan jutaan kilometer (bahkan bisa dikatakan tak terhingga karena kita takkan mampu mengukurnya)
hanya dalam satu malam saja. Dan dalam perjalanan yang sedemikian cepat
tersebut, Allah berikan kemampuan kepada Nabi Muhammad Saw untuk dapat melihat keadaan wilayah sekitar
yang beliau lewati, baik saat Isra maupun Mi’raj.
Imam Jalaluddin as Suyuthi adalah salah seorang ulama yang menjelaskan beberapa
hikmah di balik peristiwa Isra dan Mi’raj tersebut. Tatkala menjelaskan mengapa Isra Mi'raj dilakukan di malam hari, beliau mengatakan karena malam hari adalah waktu
yang tenang (untuk) menyendiri dan waktu yang khusus. Itulah waktu shalat yang
(pada awalnya) diwajibkan atas Nabi, sebagaimana firman Allah dalam surat al Muzzammil ayat 2: "Berdirilah shalat
di malam hari." (Imam as Suyuthi, al Khasha-is an Nabawiyah al Kubra, hal. 391-392).
Sebagian kita mungkin bertanya-tanya, "Mengapa perjalanan Isra dan Mi'raj itu harus "transit" terlebih dahulu di Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha)? Mengapa tidak langsung dari Mekah ke Sidratul Muntaha?
Sungguh Allah Swt telah mempersiapkan hikmah di balik itu. Perjalanan Isra
menuju Baitul Maqdis sebelum naik ke langit adalah untuk menampakkan
kebenaran terjadinya peristiwa ini dan untuk membantah orang-orang yang ingin
mendustakannya. Apabila perjalanan Isra Mi'raj itu langsung dari Mekah menuju
langit, maka sulit diberikan penjelasan dan pembuktian kepada
orang-orang yang mengingkari peristiwa ini.
Ketika dikatakan bahwa Nabi
Muhammad memulai perjalanannya dengan terlebih dahulu singgah di Baitul Maqdis, maka orang-orang yang
hendak mengingkari kejadian itu pasti akan mempertanyakan ciri-ciri Baitul Maqdis
sebagaimana yang pernah mereka lihat, dan mereka pun tahu bahwa Nabi
Muhammad Saw sama sekali belum pernah berkunjung ke sana. Saat Rasulullah mengabarkan
ciri-cirinya, mereka sadar bahwa peristiwa Isra di malam itu benar-benar
terjadi. Jika mereka membenarkan apa yang beliau katakan tentang Isra,
konsekuensinya mereka juga harus membenarkan kabar-kabar yang datang
sebelumnya (risalah kenabian). Peristiwa itu menambah iman orang-orang
yang beriman dan membuat orang-orang yang celaka bertambah keras
bantahannya.
Syaikh al Buthi menulis dalam bukunya Fiqh ash Shirah bahwa termasuk hikmah dari Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad Saw adalah isyarat bagi umat Islam agar menjaga bumi al-Quds dari para
penyusup dan orang-orang yang tidak senang terhadap Islam. Khususnya
bagi kaum muslimin saat ini, agar tidak merasa rendah, takut, dan lemah
dalam memperjuangkan al-Quds dari tangan orang-orang Yahudi. (al Buthi, Fiqh ash-Shirah an-Nabawiyah, hal. 113).
Adapun hikmah dari peristiwa Mi’raj, di mana Nabi Saw
memilih susu daripada khamr menunjukkan fitrah dan murninya ajaran
Islam yang sesuai dengan tabiat manusia. Sedangkan peristiwa terbukanya
pintu langit yang sebelumnya terkunci, lalu malaikat Jibril meminta agar dibuka, yang demikian itu mengandung hikmah agar alam semesta ini mengetahui bahwa sebelum kedatangan Nabi Muhammad Saw
hal ini belum pernah dilakukan. Sekiranya tidak demikian, mungkin orang
akan menyangka bahwa pintu langit senantiasa terbuka. Dan Allah juga hendak mengabarkan bahwa Nabi Muhammad Saw sudah dikenal oleh penduduk langit. Oleh karena itu, ketika pintu langit
dibukakan, lalu malaikat Jibril mengatakan kepada penjaga langit bahwa
ia bersama Muhammad, malaikat penjaga tersebut bertanya, “Apakah dia
telah diutus?” Bukan bertanya, “Siapa Muhammad?” (as Suyuthi, al Khasha-is an Nabawiyah al Kubra, hal. 391-392).
Imam Suyuthi melanjutkan, hikmah beliau dipertemukan dengan Nabi Adam A.s. pada langit pertama karena Nabi Adam adalah nabi dan manusia pertama. Di langit kedua bertemu dengan Nabi Isa A.s karena Nabi Isa adalah yang paling dekat masanya dengan Nabi Muhammad Saw. Kemudian di langit ketiga bertemu dengan Nabi Yusuf, karena umat Muhammad Saw akan masuk ke dalam surga dengan penampilan serupawan Nabi Yusuf.
Berikutnya Nabi Idris, dikatakan bahwa beliaulah yang pertama kali
diangkat ke langit sebelum Nabi Isa dan Nabi Muhammad. Kemudian bertemu
dengan Nabi Harun karena dia adalah saudara Nabi Musa yang mendampinginya
dalam berjuang. Setelah itu berjumpa Nabi Musa karena keutamaan beliau
pernah diajak berbicara oleh Allah. Dan terakhir adalah Nabi Ibrahim
karena beliau adalah bapak pilihan, yakni bapak para nabi.
Imam al Qurthubi menyatakan, pengkhususkan Nabi Musa dalam peristiwa
shalat. Ada yang mengatakan karena Nabi Musa adalah nabi yang paling
dekat posisinya saat Nabi Muhmmad turun. Ada juga yang mengatakan
umatnya lebih banyak dari umat nabi selainnya. Ada lagi yang berpendapat
karena kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Musa adalah kitab yang
paling mulia kedudukan dan hukum syariatnya sebelum al Qur'an diturunkan.
Atau juga yang berpandangan karena umat Nabi Musa dibebankan amalan shalat sebagaimana
umat nabi lainnya, lalu mereka merasa berat dengan syariat tersebut,
maka Nabi Musa kasihan dengan umat Nabi Muhammad dan merasa perlu mengingatkan beliau Saw akan hal itu. Pendapat terakhir ini
dikuatkan dengan riwayat tentang perkataan Nabi Musa, “Aku lebih mengetahui karakter manusia dibandingkan engkau.” Tak heran bila al Qur'an banyak sekali memuat kisah Nabi Musa, tujuannya
adalah agar kita juga banyak mengambil hikmah dari perjalanan hidup
beliau, perjalanan dakwahnya, dan sebagainya.
Pengkhususan syariat shalat melalui perjalanan Mi’raj karena ketika Nabi Muhammad Saw Mi’raj di malam itu, para malaikat sedang beribadah. Di antara mereka
ada yang berdiri dan tidak duduk, ada yang terus rukuk dan tidak sujud,
ada yang terus sujud dan tidak duduk, maka Allah Swt mengumpulkan semua ibadah ini untuk umat Nabi Muhammad Saw. Seorang hamba
menggabungkan berdiri, rukuk, sujud, dan duduk dalam satu rakaat.
(Muhammad Amin bin Ahmad Janki, ash Shirah an Nabawiyah min al Fath al Bari, 1: 239-240).
Dengan peritiswa Isra Mi’raj ini, Allah Swt menginginkan agar hamba dan
Rasul-Nya merasakan periode baru dalam berdakwah, sebagaimana Nabi Musa
juga mengalami periode baru dengan berangkat langsung mendakwahi Firaun
dan diangkatnya saudaranya Harun untuk mendampingi dakwahnya. Nabi Musa
sebelum diperintahkan untuk menemui Firaun telah Allah siapkan dengan
berbagai macam mukjizat dan keutamaan agar beliau siap. Allah berfirman
kepada Nabi Musa, "Untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda
kekuasaan Kami yang sangat besar. Pergilah kepada Fir´aun, sesungguhnya
ia telah melampaui batas.” (QS. Thaha: 23-24).
Sama halnya dengan Nabi Muhammad Saw. Allah persiapkan perjalanan dakwah beliau yang panjang dengan
membawanya kepada suatu fase di mana dipertemukan dengan Jibril, para nabi,
surga dan neraka, agar kesabaran beliau kian tertempa dalam menghadapi
lika liku perjalanan dakwah. Allah berfirman kepada Nabi Muhammad, “Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (QS. An-Najm: 18)
Lalu beliau Saw diistimewakan
dengan mengimami para nabi saat shalat di Baitul Maqdis dan dinaikkan menuju Sidratul Muntaha, suatu
keistimewaan yang tidak didapat oleh seorang pun selain beliau.
Dan hikmah terbesar dari perjalanan Isra Mi’raj ini adalah
disyariatkannya shalat. Dengan melaksanakan shalat wajib tersebut
seorang hamba menegakkan sebuah kewajiban ubudiyah yang mampu meredam
hawa nafsu, menanamkan akhlak-akhlak mulia di dalam hati, menyucikan
jiwa dari sifat penakut, pelit, keluh kesah, dan putus asa. Dengan
shalat kita bisa memohon pertolongan kepada Allah dalam menghadapi berbagai masalah yang menghadang kita.
Allah Swt berfiman, “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. al Baqarah: 153).
Allah Swt juga berfirman, “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.
Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat
kebaikan (harta) ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat,
yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya.” (QS. Al-Ma’arij: 19-23).
Rasulullah Saw adalah sosok yang
senantiasa berdiri (shalat) bermunajat kepada Rabb-nya, hingga beliau menemukan kenikmatan yang luar biasa dalam mengerjakan shalat. Beliau bersabda, "Dan dijadikan penyejuk hatiku di dalam shalat." (HR Ahmad).
Demikianlah secuil hikmah dari lautan hikmah Isra Mi'raj Rasulullah Saw yang dapat kita telisik. Semoga kita bisa mengambil pelajaran darinya, terutama dalam kaitannya dengan shalat. Kita berharap agar Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang bersemangat
dalam mengerjakan shalat dan menjadikannya sebagai penyejuk bagi hati kita serta sebagai jalan untuk membuat kita lebih dekat kepada-Nya. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar