Minggu, 01 Mei 2016

Menelisik Hikmah Isra Mi'raj Nabi Muhammad Saw

Perjalanan Isra dan Mi’raj merupakan perjalanan yang penuh berkah yang menunjukkan betapa Maha Kuasanya Allah Swt. Bagaimana seorang hamba, yakni Nabi Muhammad Saw, bersama ruh dan jasadnya menempuh jarak ribuan, bahkan jutaan kilometer (bahkan bisa dikatakan tak terhingga karena kita takkan mampu mengukurnya) hanya dalam satu malam saja. Dan dalam perjalanan yang sedemikian cepat tersebut, Allah berikan kemampuan kepada Nabi Muhammad Saw untuk dapat melihat keadaan wilayah sekitar yang beliau lewati, baik saat Isra maupun Mi’raj.

Imam Jalaluddin as Suyuthi adalah salah seorang ulama yang menjelaskan beberapa hikmah di balik peristiwa Isra dan Mi’raj tersebut. Tatkala menjelaskan mengapa Isra Mi'raj dilakukan di malam hari, beliau mengatakan karena malam hari adalah waktu yang tenang (untuk) menyendiri dan waktu yang khusus. Itulah waktu shalat yang (pada awalnya) diwajibkan atas Nabi, sebagaimana firman Allah dalam surat al Muzzammil ayat 2: "Berdirilah shalat di malam hari." (Imam as Suyuthi, al Khasha-is an Nabawiyah al Kubra, hal. 391-392).


Sebagian kita mungkin bertanya-tanya, "Mengapa perjalanan Isra dan Mi'raj itu harus "transit" terlebih dahulu di Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha)? Mengapa tidak langsung dari Mekah ke Sidratul Muntaha? 

Sungguh Allah Swt telah mempersiapkan hikmah di balik itu. Perjalanan Isra menuju Baitul Maqdis sebelum naik ke langit adalah untuk menampakkan kebenaran terjadinya peristiwa ini dan untuk membantah orang-orang yang ingin mendustakannya. Apabila perjalanan Isra Mi'raj itu langsung dari Mekah menuju langit, maka sulit diberikan penjelasan dan pembuktian kepada orang-orang yang mengingkari peristiwa ini.

Ketika dikatakan bahwa Nabi Muhammad memulai perjalanannya dengan terlebih dahulu singgah di Baitul Maqdis, maka orang-orang yang hendak mengingkari kejadian itu pasti akan mempertanyakan ciri-ciri Baitul Maqdis sebagaimana yang pernah mereka lihat, dan mereka pun tahu bahwa Nabi Muhammad Saw sama sekali belum pernah berkunjung ke sana. Saat Rasulullah mengabarkan ciri-cirinya, mereka sadar bahwa peristiwa Isra di malam itu benar-benar terjadi. Jika mereka membenarkan apa yang beliau katakan tentang Isra, konsekuensinya mereka juga harus membenarkan kabar-kabar yang datang sebelumnya (risalah kenabian). Peristiwa itu menambah iman orang-orang yang beriman dan membuat orang-orang yang celaka bertambah keras bantahannya.

Syaikh al Buthi menulis dalam bukunya Fiqh ash Shirah bahwa termasuk hikmah dari Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad Saw adalah isyarat bagi umat Islam agar menjaga bumi al-Quds dari para penyusup dan orang-orang yang tidak senang terhadap Islam. Khususnya bagi kaum muslimin saat ini, agar tidak merasa rendah, takut, dan lemah dalam memperjuangkan al-Quds dari tangan orang-orang Yahudi. (al Buthi, Fiqh ash-Shirah an-Nabawiyah, hal. 113).

Adapun hikmah dari peristiwa Mi’raj, di mana Nabi Saw memilih susu daripada khamr menunjukkan fitrah dan murninya ajaran Islam yang sesuai dengan tabiat manusia. Sedangkan peristiwa terbukanya pintu langit yang sebelumnya terkunci, lalu malaikat Jibril meminta agar dibuka, yang demikian itu mengandung hikmah agar alam semesta ini mengetahui bahwa sebelum kedatangan Nabi Muhammad Saw hal ini belum pernah dilakukan. Sekiranya tidak demikian, mungkin orang akan menyangka bahwa pintu langit senantiasa terbuka. Dan Allah juga hendak mengabarkan bahwa Nabi Muhammad Saw sudah dikenal oleh penduduk langit. Oleh karena itu, ketika pintu langit dibukakan, lalu malaikat Jibril mengatakan kepada penjaga langit bahwa ia bersama Muhammad, malaikat penjaga tersebut bertanya, “Apakah dia telah diutus?” Bukan bertanya, “Siapa Muhammad?” (as Suyuthi, al Khasha-is an Nabawiyah al Kubra, hal. 391-392).

Imam Suyuthi melanjutkan, hikmah beliau dipertemukan dengan Nabi Adam A.s. pada langit pertama karena Nabi Adam adalah nabi dan manusia pertama. Di langit kedua bertemu dengan Nabi Isa A.s karena Nabi Isa adalah yang paling dekat masanya dengan Nabi Muhammad Saw. Kemudian di langit ketiga bertemu dengan Nabi Yusuf, karena umat Muhammad Saw akan masuk ke dalam surga dengan penampilan serupawan Nabi Yusuf. Berikutnya Nabi Idris, dikatakan bahwa beliaulah yang pertama kali diangkat ke langit sebelum Nabi Isa dan Nabi Muhammad. Kemudian bertemu dengan Nabi Harun karena dia adalah saudara Nabi Musa yang mendampinginya dalam berjuang. Setelah itu berjumpa Nabi Musa karena keutamaan beliau pernah diajak berbicara oleh Allah. Dan terakhir adalah Nabi Ibrahim karena beliau adalah bapak pilihan, yakni bapak para nabi.

Imam al Qurthubi menyatakan, pengkhususkan Nabi Musa dalam peristiwa shalat. Ada yang mengatakan karena Nabi Musa adalah nabi yang paling dekat posisinya saat Nabi Muhmmad turun. Ada juga yang mengatakan umatnya lebih banyak dari umat nabi selainnya. Ada lagi yang berpendapat karena kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Musa adalah kitab yang paling mulia kedudukan dan hukum syariatnya sebelum al Qur'an diturunkan. Atau juga yang berpandangan karena umat Nabi Musa dibebankan amalan shalat sebagaimana umat nabi lainnya, lalu mereka merasa berat dengan syariat tersebut, maka Nabi Musa kasihan dengan umat Nabi Muhammad dan merasa perlu mengingatkan beliau Saw akan hal itu. Pendapat terakhir ini dikuatkan dengan riwayat tentang perkataan Nabi Musa, “Aku lebih mengetahui karakter manusia dibandingkan engkau.” Tak heran bila al Qur'an banyak sekali memuat kisah Nabi Musa, tujuannya adalah agar kita juga banyak mengambil hikmah dari perjalanan hidup beliau, perjalanan dakwahnya, dan sebagainya.

Pengkhususan syariat shalat melalui perjalanan Mi’raj karena ketika Nabi Muhammad Saw Mi’raj di malam itu, para malaikat sedang beribadah. Di antara mereka ada yang berdiri dan tidak duduk, ada yang terus rukuk dan tidak sujud, ada yang terus sujud dan tidak duduk, maka Allah Swt mengumpulkan semua ibadah ini untuk umat Nabi Muhammad Saw. Seorang hamba menggabungkan berdiri, rukuk, sujud, dan duduk dalam satu rakaat. (Muhammad Amin bin Ahmad Janki, ash Shirah an Nabawiyah min al Fath al Bari, 1: 239-240).

Dengan peritiswa Isra Mi’raj ini, Allah Swt menginginkan agar hamba dan Rasul-Nya merasakan periode baru dalam berdakwah, sebagaimana Nabi Musa juga mengalami periode baru dengan berangkat langsung mendakwahi Firaun dan diangkatnya saudaranya Harun untuk mendampingi dakwahnya. Nabi Musa sebelum diperintahkan untuk menemui Firaun telah Allah siapkan dengan berbagai macam mukjizat dan keutamaan agar beliau siap. Allah berfirman kepada Nabi Musa, "Untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang sangat besar. Pergilah kepada Fir´aun, sesungguhnya ia telah melampaui batas.” (QS. Thaha: 23-24).

Sama halnya dengan Nabi Muhammad Saw. Allah persiapkan perjalanan dakwah beliau yang panjang dengan membawanya kepada suatu fase di mana dipertemukan dengan Jibril, para nabi, surga dan neraka, agar kesabaran beliau kian tertempa dalam menghadapi lika liku perjalanan dakwah. Allah berfirman kepada Nabi Muhammad, “Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (QS. An-Najm: 18)

Lalu beliau Saw diistimewakan dengan mengimami para nabi saat shalat di Baitul Maqdis dan dinaikkan menuju Sidratul Muntaha, suatu keistimewaan yang tidak didapat oleh seorang pun selain beliau.

Dan hikmah terbesar dari perjalanan Isra Mi’raj ini adalah disyariatkannya shalat. Dengan melaksanakan shalat wajib tersebut seorang hamba menegakkan sebuah kewajiban ubudiyah yang mampu meredam hawa nafsu, menanamkan akhlak-akhlak mulia di dalam hati, menyucikan jiwa dari sifat penakut, pelit, keluh kesah, dan putus asa. Dengan shalat kita bisa memohon pertolongan kepada Allah dalam menghadapi berbagai masalah yang menghadang kita.

Allah Swt berfiman, “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. al Baqarah: 153).

Allah Swt juga berfirman, “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan (harta) ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya.” (QS. Al-Ma’arij: 19-23).

Rasulullah Saw adalah sosok yang senantiasa berdiri (shalat) bermunajat kepada Rabb-nya, hingga beliau menemukan kenikmatan yang luar biasa dalam mengerjakan shalat. Beliau bersabda, "Dan dijadikan penyejuk hatiku di dalam shalat." (HR Ahmad).

Demikianlah secuil hikmah dari lautan hikmah Isra Mi'raj Rasulullah Saw yang dapat kita telisik. Semoga kita bisa mengambil pelajaran darinya, terutama dalam kaitannya dengan shalat. Kita berharap agar Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang bersemangat dalam mengerjakan shalat dan menjadikannya sebagai penyejuk bagi hati kita serta sebagai jalan untuk membuat kita lebih dekat kepada-Nya. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar