SOAL:
Bagaimana perhitungan zakat padi yang airnya menggunakan diesel sehingga harus mengeluarkan
biaya, dan
juga menggunakan pupuk serta
semprot hama.
Pertanyaanya:
1. Apakah perhitungan zakat yang harus
dikeluarkan itu dari penghasilan total sebelum dikurangi pembiayaan atau
sesudah dikurangi pembiayaan? Karena pembiayaannya diesel, pupuk dan semprotan serta bayar panen?
2. Bagaimana perhitungannya bila
sawah itu digarap orang lain (sistem bagi dua yang punya sawah dan pekerja); nishab hasilnya apakah masing-masing atau dikumpulkan?
JAWAB:
1. Dasar
hukum zakat hasil bumi termasuk zakat padi ialah Al-Qur’an surat Al Baqarah (2:
267) “Hai orang-orang yang beriman,
nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan
sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. ". Dan surat Al-An’am (6:141): “….. dan tunaikanlah haknya (zakatnya) di
hari memetik hasilnya (dengan didistribusikan kepada fakir miskin)."
Hasil pertanian adalah hasil
tumbuh-tumbuhan atau tanaman yang bernilai ekonomis seperti biji-bijian,
umbi-umbian, sayur-mayur, buah-buahan, tanaman hias, rumput-rumputan, dedaunan,
dll. Menurut jumhur ulama tanaman yang tahan lama dan menjadi bahan pokok dalam
sebuah negeri termasuk hasil pertanian seperti padi (al-aruz) wajib dizakati.
Menurut
Yusuf Al-Qardhawi dalam Fiqh az-Zakat
bahwa zakat padi dikeluarkan langsung saat panen, sebab zakat ini
tidak mengenal haul. Zakat padi
ini dikeluarkan dari hasil netto (penghasilan bersih) setelah dikurangi semua
beban biaya (pupuk serta semprot hama kecuali biaya irigasi/menggunakan diesel)
dan mencapai nishab.
Mengapa biaya irigasi tidak
dikeluarkan?
Karena menurut
ulama –biaya pengairan/ irigasi tidak dimasukkan dalam bagian biaya yang
menjadi pengurang hasil pertanian– biaya tersebut adalah termasuk variabel yang
menjadikan perubahan tarif zakat yang awalnya dikelurkan zakat 10% menjadi 5%.
Tarif zakat pertanian sebagaimana
dijelaskan Rasulllah Saw adalah: 10 % dari hasil pertanian yang menggunakan air
hujan dan 5% bagi yang menggunakan pengairan buatan. Dari Ibnu Umar r.a. bahwa
Nabi Muhammad saw. bersabda, “Tanaman
yang disiram dengan air hujan dan mata air atau disiram dengan aliran sungai,
maka zakatnya sepersepuluh. Sedangkan yang disirami dengan ditimba maka
zakatnya seperduapuluh.” (HR. Al-Jama’ah kecuali Imam Muslim)
Lebih lanjut, ulama kontemporer
menjelaskan hasil panen dipotong dengan biaya yang dikeluarkan selama proses
penanaman selain biaya irigasi, seperti benih, seleksi, biaya panen dan
lain-lain. Tetapi disyaratkan biaya itu tidak lebih dari sepertiga hasil
panen, sesuai dengan keputusan Seminar Fikih Ekonomi ke-6, Dallah &
Barakah. Termasuk dalam hal ini jika terdapat hutang-hutang yang berkaitan
dengan biaya pertanian juga dikurangkan atas hasil pertanian, sedangkan hutang
pribadi yang tidak ada kaitannya dengan waktu proses pertanian maka tidak
dikeluarkan.
Adapun nishab zakat tanaman dan buah-buahan
adalah sebesar lima wisq, sesuai dengan hadits Rasulullah saw., “Yang kurang dari lima wisq tidak wajib
zakat.” (muttafaq alaih)
Satu wisq = 60 sha’. Dan satu
sha’ menurut ukuran Madinah adalah 4 mud adalah 5 rithl dan sepertiganya,
sekitar 2176 gr atau 2,176 Kg. Maka satu nishab itu adalah: 300 sha’ x 2,176 =
652,8 kg dan dibulatkan menjadi 653 Kg. Jadi Lima wisq = 300 sha’= 653 kg padi/gabah, tetapi kalau dalam bentuk
beras ulama menjelaskan nishabnya berbeda = 520 Kg beras.
Berdasarkan
penjelaskan tersebut, jika hasil panen sawah/padi cukup atau melebihi nishab
(653 kg padi/gabah) setelah dikurangi beban biaya selain irigasi atau pengairan
menggunakan diesel maka wajib zakat 5%.
2. Bagaimana jika sawah itu
digarap orang lain (sistem bagi dua yang punya sawah dan pekerja)?
Menurut
jumhur ulama ketika pemilik tanah menyerahkan tanahnya untuk ditanami dengan
imbalan persentase tertentu dari hasil panen seperti 1/4 atau ½-nya, maka zakat
menjadi kewajiban keduanya. Masing-masing berkewajiban zakat sesuai dengan hasil yang didapati
ketika sudah mencapai satu nishab dan perhitungannya tidak digabung, yaitu
masing-masing baik pemilik sawah maupun pekerjanya.
Sedangkan jika pemilik tanah
menyerahkan tanahnya untuk ditanami dengan pembayaran harga tertentu (misalnya
disewakan berapa rupiah semusim tanam atau setahun). Menurut Wahbah az-Zuhaili
dalam Fiqh al-Islam wa adillatuhu ada perbedaan pendapat para ahli fiqh tentang
zakat tanah sewaan. Apakah zakatnya dibebankan kepada orang yang menyewakan
ataukah kepada penyewa?
Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa
yang mengeluarkan zakat adalah pemilik tanah. Madzhabul jumhur berpendapat
bahwa yang mengeluarkan zakat adalah penyewa/petani. Bisa juga keduanya
mengeluarkan zakat sesuai dengan hasil dari tanah yang dimanfaatkan. Pemilik
tanah berzakat dari sewa tanah yang diperoleh, dan petani berzakat dari hasil
yang diperoleh setelah dikurangi biaya produksi, termasuk biaya sewa tanah.
Dengan cara itu zakat telah dikeluarkan dengan sempurna dari seluruh hasil
tanah.
Alhasil, jika sawah dengan sistem bagi dua
yang punya sawah dan pekerja, maka zakat menjadi kewajiban keduanya.
Masing-masing berkewajiban mengeluarkan zakat sesuai dengan hasil yang didapati
ketika sudah mencapai satu nishab dan perhitungannya tidak digabung, yaitu
masing-masing baik pemilik sawah maupun pekerjanya. Berbeda bagi tanah yang
disewa, maka zakat pertanian dikenakan atas si penyewa, karena zakat dikenakan
atas hasil bukan atas tanah 5% (karena ada biaya irigasi), sedangkan bagi si pemilik
tanah dikenakan zakat manfaat atas harta dengan jasa sewa 2,5%.
Demikian semoga dapat dipahami. Waallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar