Tasyahhud akhir dilaksanakan pada rakaat terakhir dari setiap shalat. Hukumnya wajib. Di dalam hadits disebutkan:
"Dari Abdullah ra ia berkata, "Pada saat melaksanakan shalat, kami membaca: Assalaamu 'alallaahi, assalaamu 'alaa fulaan (Mudah-mudahan keselamatan atas Allah, keselamatan atas fulan). Kemudian pada suatu hari Nabi Saw bersabda kepada kami, "Sesungguhnya Allah Swt adalah Dzat yang memberi keselamatan, oleh karena itu ketika kalian duduk di dalam shalat, bacalah: Attahiyyaatu lillaah....dst". Apabila kalian membacanya, maka doa itu akan mencakup semua hamba Allah yang saleh di langit dan bumi." (Shahih al-Bukhari, Juz V halaman 2331 [5969]).
Kemudian shalawat kepada Nabi Saw. Al-Iman al-Sya'bi --seorang ulama salaf--, berkata:
"Dari al-Sya'bi, sesungguhnya ia berkata, "Siapa saja yang tidak membaca shalawat ketika tasyahhud, maka ulangilah shalatnya." (Sunan al-Baihaqi, Juz II halaman 379 [3783]).
Ibn Hajar al-Asqallani menyatakan bahwa sanad hadits ini sangat kuat karena diriwayatkan oleh al-Sya'bi, seorang pembesar tabi'in. (Fathul Bari, Juz XI halaman 164).
Bacaan shalawat yang paling utama pada tasyahhud akhir adalah:
Allaahumma shalli 'alaa sayyidinaa Muhammadin wa 'alaa aali sayyidinaa Muhammad, kamaa shallaita 'alaa sayyidinaa Ibraahiima wa 'alaa aali sayyidinaa Ibraahiim, wa baarik 'alaa sayyidinaa Muhammadin wa 'alaa aali sayyidinaa Muhammad, kamaa baarakta 'alaa sayyidinaa Ibraahiima wa 'alaa aali sayyidinaa Ibraahim, fil 'aalamiina innaka hamiidun majiid.
"Ya Allah, mudah-mudahan Engkau selalu memberikan shalawat kepada junjungan kami Nabi Muhammad Saw dan juga kepada keluarga junjungan kami Nabi Muhammad Saw. Sebagaimana Engkau telah memberikan shalawat kepada junjungan kami Nabi Ibrahim dan keluarga junjungan kami Nabi Ibrahim. Dan mudah-mudahan Engkau memberikan keberkahan kepada junjungan kami Nabi Muhammad Saw dan keluarga junjungan kami Nabi Muhammad Saw. Sebagaimana Engkau telah memberikannya kepada junjungan kami Nabi Ibrahim dan keluarga junjungan kami Nabi Ibrahim. Di seluruh alam semesta Engkau adalah Dzat yang Maha Mulia dan Maha Terpuji."
Berdasarkan hadits:
"Dari Abi Mas'ud al-Anshari sesungguhnya ia berkata, "Suatu ketika Rasulullah Saw mendatangi kami ketika kami berada di sebuah tempat milik Sa'ad bin Ubadah. Kemudian Basyir bin Sa'ad bertanya kepada beliau, "Allah Swt telah memerintahkan kami membaca shalawat kepadamu, lalu bagaimanakah cara kami membaca shalawat kepadamu?" Mendapatkan pertanyaan itu Rasulullah Saw diam sangat lama, sehingga muncul niat dalam diri kami untuk tidak menanyakan hal itu lagi. Setelah sekian lama terdiam, Rasulullah Saw bersabda, "Bacalah: Allaahumma shalli 'alaa Muhammadin wa 'alaa aali Muhammad, kamaa shallaita 'alaa Ibraahiima wa 'alaa aali Ibraahiim, wa baarik
'alaa Muhammadin wa 'alaa aali Muhammad, kamaa
baarakta 'alaa Ibraahiima wa 'alaa aali Ibraahim,
fil 'aalamiina innaka hamiidun majiid (Ya Allah, mudah-mudahan Engkau selalu memberikan shalawat kepada
Nabi Muhammad Saw dan juga kepada keluarga Nabi Muhammad Saw. Sebagaimana Engkau telah memberikan shalawat kepada Nabi Ibrahim dan keluarga Nabi Ibrahim. Dan
mudah-mudahan Engkau memberikan keberkahan kepada Nabi
Muhammad Saw dan keluarga Nabi Muhammad Saw. Sebagaimana
Engkau telah memberikannya kepada Nabi Ibrahim dan keluarga Nabi Ibrahim. Di seluruh alam semesta Engkau adalah Dzat yang Maha Mulia dan Maha Terpuji)." (Shahih Muslim, Juz I halaman 305 [65]).
Walaupun hadits ini tidak menyebutkan kata sayyidina kepada Nabi Saw, namun bukan berarti mengucapkan sayyidina itu dilarang. Ulama mengatakan bahwa ketika membaca shalawat kepada Nabi Muhammad Saw dianjurkan mengucapkan sayyidina sebelum menyebut nama beliau Saw, termasuk di dalam shalat. Karena hal tersebut merupakan suatu bentuk penghormatan kepada beliau. Syaikh Nawawi al-Bantani mengutip pendapat sejumlah ulama:
"Yang paling sempurna adalah mengucapkan lafazh sayyidina karena di dalamnya ada bentuk penghormatan." (Kasyifah al-Saja: 56).
Ketika shalat, tidak dilarang membaca dzikir-dzikir selain yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw, selama tidak bertentangan dengan tuntunan Nabi Saw. Dalam sebuah hadits disebutkan:
"Dari Rifa'ah bin Rafi' al-Zuraqi ra, pada suatu hari kami shalat berjamaah kepada Nabi Saw. Pada saat Nabi Saw mengangkat kepalanya dari ruku' seraya membaca "Sami'allaahu liman hamidah", seorang laki-laki di belakang Nabi Saw membaca "Rabbanaa walakal hamdu, hamdan katsiiran thayyiban mubaarakan fiih (Tuhan kami, dan bagi-Mu semua pujian dengan pujian yang banyak, baik dan diberkahi). Setelah shalat, Nabi Saw kemudian bertanya, "Siapakah yang membaca doa itu tadi?" Laki-laki itu menjawab, "Saya". Nabi Saw bersabda, "Saya melihat sekitar tiga puluh malaikat berebutan untuk menjadi yang pertama menulis pahala dari bacaan tersebut." (Shahih al-Bukhari, Juz II halaman 287 [766]).
Di dalam kitab Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, Ibn Hajar al-Asqallani menjelaskan:
"Ulama menjadikan hadits ini sebagai dalil kebolehan membaca dzikir di dalam shalat walaupun tidak ma'tsur (tidak dicontohkan) langsung oleh Nabi Saw, selama dzikir yang dibaca itu tidak menyalahi yang ma'tsur (yang dicontohkan Nabi Saw)." (Fath al-Bari, Juz II, halaman 287).
Ibn Umar ra juga pernah menambah bacaan tasyahhud melebihi apa yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw:
"Dari Mujahid meriwayatkan tentang tasyahhud yang dibaca oleh Ibn Umar ra setelah membaca "asyhadu allaa ilaaha illallaah", Ibn Umar ra berkata, "Aku menambahkan bacaan "Wahdahu laa syariika lahu wa asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa rasuuluhu." (Sunan Abi Dawud, Juz I halaman 255 [971]).
Dalam hal ini, walaupun tidak dicontohkan secara langsung oleh Nabi Saw, membaca sayyidina sebelum menyebutkan nama Nabi Saw ketika shalat adalah sesuai dengan tuntunan yang beliau ajarkan. Nabi Saw mengakui dirinya sebagai sayyid seluruh anak Adam.
"Dari Abu Hurairah ra ia berkata, "Rasulullah Saw bersabda, "Saya adalah sayyid anak Adam pada hari Kiamat, orang pertama yang dibangkitkan dari kubur, orang pertama yang memberikan syafaat dan orang yang pertama kali berhak memberikan syafaat." (Shahih Muslim, Juz IV halaman 1784 [3]).
Kalau Nabi Saw mengakui dirinya sebagai sayyid seluruh anak Adam, tentulah sangat layak bagi umatnya untuk menyebutkan kata sayyidina tersebut sebagai penghormatan kepada kedudukan beliau yang mulia. Selain itu, hadits di atas adalah dalil yang menunjukkan kebolehan mengucapkan sayyidina kepada Rasulullah Saw sebagaimana sabda beliau di atas. Dengan demikian, tidak ada larangan bagi kita untuk memanggil beliau dengan ungkapan sayyidina. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat Sahl bin Haunaif ketika memanggil Nabi Saw:
Yaa Sayyidii, warruqaa shaalihatun
"Wahai Sayyidku, ruqyah itu baik." (Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz III halaman 486 dan al-Mustadrak, Juz IV halaman 413).
Setelah membaca tasyahhud dan shalawat dianjurkan membaca doa-doa yang diajarkan Nabi Saw. Imam al-Ghazali menjelaskan:
"Setelah membaca shalawat kepada Nabi Saw sempurnakanlah dengan membaca doa yang dikenal yang diajarkan langsung dari Nabi Saw." (Bidayah al-Hidayah: 50).
Adapun doa yang dimaksud adalah:
Allaahumma innii a'uudzubika min 'adzaabi jahannam, wa min 'adzaabil qabr, wa min fitnatil mahyaa wal mamaat, wa min syarri fitnatil masiihid dajjaal
"Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari siksa neraka jahannam, dari siksa kubur, dari keburukan di dunia dan akhirat serta dari keburukan Dajjal."
Dalam hadits disebutkan:
"Dari Abu Hurairah ra ia berkata, "Rasulullah Saw bersabda, "Jika kalian telah selesai membaca tasyahhud, maka berdoalah. Memohon kepada Allah Swt dari empat perkara. Yakni dengan membaca: Allaahumma innii a'uudzubika min
'adzaabi jahannam, wa min 'adzaabil qabr, wa min fitnatil mahyaa wal
mamaat, wa min syarri fitnatil masiihid dajjaal (Ya
Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari siksa neraka
jahannam, dari siksa kubur, dari keburukan di dunia dan akhirat serta
dari keburukan Dajjal)." (Shahih Muslim, Juz I halaman 412 [128]).
Tata cara duduk tasyahhud akhir ini adalah dengan tawarruk, yakni meletakkan pantat di lantai tempat shalat, sedangkan kaki kiri dimasukkan ke bawah kaki kanan. Dalam hadits dijelaskan:
"Dari Abi Hamid As-Sa'idi, "Aku melihat Rasulullah Saw shalat, apabila takbiratul ihram tangan beliau diangkat hingga lurus pada dua pundaknya, apabila ruku' menempatkan kedua tangan di lutut, kemudian meluruskan punggungnya, pada saat i'tidal mengangkat kepalanya sehingga seluruh ruas anggota tubuhnya kembali pada posisi semula, ketika sujud meletakkan kedua tangan, tidak dibentangkan atau dirapatkan, dan ujung jari-jari kaki dihadapkan ke arah kiblat, ketika duduk pada rakaat kedua, beliau duduk pada kaki kiri dan meluruskan yang kanan, dan pada saat duduk di rakaat terakhir, beliau memasukkan kaki kirinya dan duduk di lantai tempat shalat." (Shahih al-Bukhari, Juz I halaman 327 [794]).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar