Satu hal yang terus menerus diyakini oleh kaum Wahhabi adalah menyifati Allah dengan arah dan tempat. Menurut mereka Allah berada di atas. Tentu saja ini bertentangan dengan prinsip penyucian Allah Swt.
Sayyidina Ali pernah berkata, "Dulu Allah ada dan tidak ada tempat, dan sekarang Dia tetap seperti sedia kala (tidak bertempat)." (Lihat: al-Baghdadi, al-Farq bayn al-Firaq, j. 1, hal. 321)
Abu Hanifah juga pernah berkata, "Jika ditanyakan, 'Di manakah Allah Swt?' maka jawabannya adalah, 'Allah Swt ada dan tidak berada di tempat sebelum menciptakan makhluk; Allah ada ketika 'mana' (arah), makhluk, dan segala sesuatu belum ada; Dia adalah Pencipta segala sesuatu." (Lihat: Abu Hanifah, Majmu't Rasa'il al-Fqh al-Absath, hal. 25)
Imam Syafi'i juga berkata, "Sesungguhnya Allah Swt Ada sedangkan tempat tidak ada; lalu menciptakan tempat, sedangkan Dia tetap bersifat azali seperti sebelum menciptakan tempat; tidak boleh ada perubahan pada sifat dan Dzat-Nya." (Lihat: Ithaf as-Sadah al-Muttaqin, j. 2, hal. 24)
Maksud ini kemudian ditegaskan oleh Imam Thahawi dalam kitabnya, al-'Aqidah ath-Thahawiyah, dengan mengatakan, "Barangsiapa yang tidak menghindari peniadaan dan penyerupaan, maka telah terpeleset dan tidak melakukan penyucian (tanzih). Tuhan kita Yang Maha Perkasa dan Maha Tinggi memiliki sifat-sifat wahdaniyyah (Esa, tak terbagi), juga memiliki sifat-sifat fardaniyyah (Tunggal, tanpa sekutu); tidak ada satu makhluk pun yang semakna dengan Dzat-Nya, Maha Tinggi dari kemungkinan memiliki batas, penghabisan, bagian, organ, dan peralatan; tidak diwadahi oleh tujuh arah seperti halnya benda-benda yang diciptakan dari ketiadaan." (Ath-Thahawi, Abu Ja'far Ahmad bin Salamah, al-'Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 26)
Kemustahilan Allah berada di tempat dan arah berangkat dari keyakinan kelompok yang benar dari kaum Muslimin bahwasanya Allah Swt bersifat Qadim (Maha Dahulu). Yakni mereka meyakini adanya sifat qidam, yaitu qidam dzati dalam arti tidak berpermulaan dalam wujud-Nya. Hal ini disarikan dari firman Allah Swt: "Dia Yang Maha Awal." (QS. al-Hadid: 3); juga sabda Nabi Saw: "Engkau adalah Yang Maha Awal, tidak ada sesuatu pun sebelum-Mu." (HR. Muslim)
Sifat qidam menafikan adanya sesuatu yang mendahului wujud-Nya atau berbarengan dengan wujud-Nya. Demikian pula dengan sifat-sifat Allah; semuanya qadim, tidak berubah karena terjadinya zat-zat yang hadits (makhluk/baru).
Meyakini keterikatan Allah dengan arah dan tempat berarti Allah belum berada di atas sebelum menciptakan alam semesta. Waktu itu belum ada atas karena belum ada sesuatu yang berada di bawah. Dengan demikian, atas yang berkaitan dengan ruang adalah sifat baru yang muncul karena terjadinya sesuatu yang baru, maka tidak layak disifatkan kepada Allah Swt.
Kaum Muslimin juga beriman bahwa Allah berbeda dengan zat-zat yang hadits. Yakni berbeda dalam hakikatnya, sehingga meniadakan dari Dzat Allah Swt unsur jurm (massa/tubuh) dan ardh (sifat massa), serta umum dan satuan; juga unsur-unsur penyertanya, berupa menempati ruang bagi massa, memerlukan tambatan bagi 'ardh, besar dan terbagi bagi sifat umum, dan kecil bagi satuan. Demikian seterusnya. Sampai di sini, jika setan masih membisikkan ke dalam benak seseorang, "Jika Tuhan bukan massa, bukan sifat massa dan tidak termasuk dalam kategori umum dan tidak pula satuan, maka seperti apakah hakikat-Nya?" Maka jawabannya adalah, "Tidak ada yang mengenal Allah kecuali Allah."
Sifat ini juga diambil dari firman Allah Swt: "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar, Maha Melihat." (QS. asy-Syura: 11) Dalam hadits Nabi Saw, juga pernah diriwayatkan dari Ubay bin Ka'ab ra bahwasanya kaum musyrikin pernah berkata, "Hai Muhammad, sebutkan silsilah nasab Tuhanmu!" maka Allah Swt menurunkan: Qul huwallaahu ahad * Allaahush shamad. Dia berkata: ash-shamad: yang tidak dilahirkan. Lam yalid wa lam yuulad * Wa lam yakun lahuu kufuwan ahad. Sesuatu yang dilahirkan akan mati, sesuatu yang mati akan diwarisi, sedangkan Allah tidak akan pernah diwarisi. Wa lam yakun lahuu kufuwan ahad, tidak memiliki penyerupa, dan tidak pula penyetara; tidak ada yang serupa dengan-Nya. (Hadits riwayat al-Hakim dalam al-Mustadrak, bab Tafsir surah al Ikhlash, j. 2, hal. 589. Katanya, "Ini adalah hadits shahih dari segi sanad," sedangkan adz Dzahabi berkomentar dengan mengatakan, "Shahih")
Dengan demikian, tidak boleh menyifati Allah dengan hal-hal yang baru, atau mengajukan pertanyaan yang menggiring penyifatan-Nya dengan hal baru. Maka dari itu, tidak boleh mempertanyakan Allah, "Di mana?" dengan maksud untuk mengetahui arah dan tempat Dzat Allah Swt. Tetapi, jika dimaksudkan untuk mengetahui kerajaan-Nya, malaikat-malaikat-Nya, atau segala sesuatu yang boleh disifati dengan sifat-sifat baru, maka dibolehkan. Dengan makna seperti inilah seharusnya pertanyaan, "Di mana?" yang tersebut dalam teks-teks agama atau keterangan yang makna lahirnya menunjukkan keterkaitan Allah Swt dengan arah ditakwilkan. Wallahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar