Minggu, 04 Juni 2017

Kajian Fiqih Praktis Puasa Ramadhan (Bagian Keempat)

Yang Membatalkan Puasa

  1. Makan dan minum dengan sengaja.
Allah SWT berfirman:
“… dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar…” (QS. al-Baqarah [2]: 187).

Apabila makan dan minum itu dilakukan tanpa unsur kesengajaan, maka tidaklah membatalkan puasa. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ
“Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang makan dan minum karena lupa, sedangkan ia puasa, maka hendaklah diteruskannya puasanya itu, karena Allah telah memberinya makan dan minum.” (HR Bukhari dan Muslim).


  1. Muntah dengan sengaja.
Seseorang yang secara sengaja mengusahakan dirinya untuk muntah, sedangkan ia dalam keadaan puasa, maka batallah puasanya. Namun jika muntah itu terjadi tanpa unsur kesengajaan, maka puasanya tidak batal. Dalam hadits disebutkan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ ذَرَعَهُ قَيْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنْ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ
“Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang muntah tanpa disengaja ketika sedang berpuasa, maka ia tidak berkewajiban untuk mengqadha, dan apabila ia sengaja untuk muntah maka hendaknya ia mengqadha.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Hibban).

  1. Bersetubuh.
Allah SWT berfirman:

 “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu…” (QS. al-Baqarah [2]: 187). 

Seorang laki-laki yang bersetubuh di siang hari bulan Ramadhan maka batallah puasanya dan wajib atasnya membayar kafarat. Kafarat memiliki tiga tingkatan, yaitu: (1) Memerdekakan budak, (2) Berpuasa dua bulan berturut-turut, (3) Memberi makan enam puluh orang fakir-miskin. Hal ini berdasarkan hadits berikut:

أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ قَالَ مَا لَكَ قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا قَالَ لَا قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ لَا فَقَالَ فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا قَالَ لَا قَالَ فَمَكَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ قَالَ أَيْنَ السَّائِلُ فَقَالَ أَنَا قَالَ خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ فَقَالَ الرَّجُلُ أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ
“Bahwa Abu Hurairah ra berkata, “Ketika kami sedang duduk bermajelis bersama Nabi SAW tiba-tiba datang seorang laki-laki lalu berkata, “Wahai Rasulullah, binasalah aku.” Beliau bertanya, “Ada apa denganmu?” Orang itu menjawab, “Aku telah berhubungan dengan isteriku sedangkan aku sedang berpuasa.” Maka Rasulullah SAW bertanya, “Apakah kamu memiliki budak, sehingga kamu harus membebaskannya?” Orang itu menjawab, “Tidak.” Lalu beliau bertanya lagi, “Apakah kamu sanggup bila harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut?” Orang itu menjawab, “Tidak.” Lalu beliau bertanya lagi, “Apakah kamu memiliki makanan untuk diberikan kepada enam puluh orang miskin?” Orang itu menjawab, “Tidak.” Sejenak Nabi SAW terdiam. Ketika kami masih dalam keadaan tadi, Nabi SAW diberikan satu keranjang berisi kurma, lalu beliau bertanya, “Mana orang yang bertanya tadi?” Orang itu menjawab, “Aku.” Maka beliau berkata, “Ambillah kurma ini lalu bersedekahlah dengannya.” Orang itu berkata, “Apakah ada orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada keluarga yang tinggal di antara dua perbatasan, (yang dia maksud adalah dua gurun pasir), yang lebih fakir daripada keluargaku.” Mendengar itu Nabi SAW menjadi tertawa hingga tampak gigi seri beliau. Kemudian beliau berkata, “Kalau begitu berilah makan keluargamu dengan kurma ini.” (HR Bukhari dan Muslim).

  1. Keluar darah haid atau nifas.
Seorang wanita yang menjalani masa haid atau nifas meskipun sesaat, maka batallah puasanya, dan ia wajib meng-qadha pada waktu yang lain.
Dalam hadits disebutkan:

عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِي الصَّوْمَ وَلَا تَقْضِي الصَّلَاةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّي أَسْأَلُ قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ
“Dari Mu’adzah dia berkata, “Aku bertanya kepada Aisyah seraya berkata, “Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha puasa dan tidak mengqadha shalat?” Maka Aisyah menjawab, “Apakah kamu dari golongan Haruriyah?” Aku menjawab, “Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.” Aisyah berkata, “Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.” (HR Muslim).

  1. Keluar mani dengan sengaja.
  2. Gila. Jika seseorang mengalami gila pada waktu siang hari di bulan Ramadhan, maka batallah puasanya.
  3. Jika seseorang yang sedang berpuasa berniat untuk berbuka (padahal saat berbuka belum tiba), maka batallah puasanya. Karena niat merupakan salah satu syarat sahnya puasa.

Orang-orang yang Boleh Berbuka

  1. Orang sakit. Apabila ia tidak kuasa untuk berpuasa atau apabila puasa akan memperparah sakitnya, atau akan memperlambat masa kesembuhannya, maka ia boleh berbuka dan wajib atasnya meng-qadha hari-hari puasa yang ia tinggalkan setelah ia sembuh pada waktu yang lain.
  2. Orang yang dalam perjalanan jauh. Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang jarak perjalanan tersebut, sesuai dengan pendapat mereka tentang jarak yang membolehkan seseorang untuk meng-qashar shalat.
Allah SWT berfirman:

 “…Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain…” (QS. al-Baqarah [2]: 184).

Ayat ini dikhususkan untuk orang-orang yang sakit dan yang berada dalam perjalanan (musafir) secara keseluruhan. Jika seseorang dalam perjalanan dan ia merasa berat untuk berpuasa, maka ia diberi keringanan untuk berbuka dan itu lebih baik baginya. Kemudian wajib atasnya untuk mengganti puasa yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain di luar Ramadhan. Namun jika ia tetap berpuasa dan hal itu tidak memberatkan baginya, maka ia akan mendapatkan tambahan pahala. Itu pun baik baginya.
Abu Said al-Khudri ra bercerita:

كُنَّا نَغْزُو مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ فَمِنَّا الصَّائِمُ وَمِنَّا الْمُفْطِرُ فَلَا يَجِدُ الصَّائِمُ عَلَى الْمُفْطِرِ وَلَا الْمُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ يَرَوْنَ أَنَّ مَنْ وَجَدَ قُوَّةً فَصَامَ فَإِنَّ ذَلِكَ حَسَنٌ وَيَرَوْنَ أَنَّ مَنْ وَجَدَ ضَعْفًا فَأَفْطَرَ فَإِنَّ ذَلِكَ حَسَنٌ
“Kami pernah ikut berperang bersama Rasulullah SAW di bulan Ramadhan. Di antara kami ada yang berpuasa dan ada pula yang berbuka. Orang yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka, begitu juga orang yang berbuka tidak mencela orang yang berpuasa. Mereka berpendapat bahwa siapa yang kuat lalu ia berpuasa, maka itu adalah baik, dan siapa yang merasa lemah hingga ia berbuka, maka itu pun juga baik.” (HR Muslim).

  1. Orang yang sudah lanjut usia. Seseorang yang sudah lanjut usia dan sudah tidak mampu lagi untuk menunaikan puasa, maka ia boleh berbuka. Tidak ada kewajiban qadha baginya, namun ia cukup membayar fidyah dengan memberi makan fakir-miskin sebanyak satu mud pada setiap hari yang ia tinggalkan.
Allah SWT berfirman:

 “…dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin…” (QS. al-Baqarah [2]: 184).

Hal ini juga didasarkan pada hadits yang menceritakan bahwa Ibnu Abbas ra pernah berkata, “Orang tua yang sudah lanjut usia diberikan keringanan untuk tidak berpuasa. Akan tetapi, ia berkewajiban untuk memberi makanan setiap harinya kepada fakir miskin dan ia tidak perlu meng-qadha puasa yang ditinggalkannya.” (HR Daruquthni dan al-Hakim, ia menshahihkannya).

  1. Wanita hamil dan menyusui. Para ulama menjelaskan, jika seorang wanita yang sedang hamil atau menyusui khawatir akan terjadi mudarat bagi dirinya dan anaknya, maka ia boleh berbuka, dan wajib atasnya untuk meng-qadha pada waktu yang lain. Keadaannya sama seperti keadaan orang yang sedang sakit. Namun jika yang ia khawatirkan hanya mudarat bagi anaknya (misalnya, takut terjadi keguguran atau berkurang air susunya yang menyebabkan kebutuhan anaknya tidak tercukupi), maka ia boleh berbuka dan wajib atasnya qadha dan fidyah.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَجُلٌ مِنْ بَنِي عَبْدِ اللَّهِ بْنِ كَعْبٍ قَالَ أَغَارَتْ عَلَيْنَا خَيْلُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدْتُهُ يَتَغَدَّى فَقَالَ ادْنُ فَكُلْ فَقُلْتُ إِنِّي صَائِمٌ فَقَالَ ادْنُ أُحَدِّثْكَ عَنْ الصَّوْمِ أَوْ الصِّيَامِ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلَاةِ وَعَنْ الْحَامِلِ أَوْ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوْ الصِّيَامَ 
“Dari Anas bin Malik, seorang lelaki dari bani Abdullah bin Ka’ab berkata, “Pasukan Rasulullah SAW menyerbu kaum kami secara diam-diam, lalu aku mendatangi beliau dan ternyata beliau sedang makan siang, lantas beliau bersabda, “Mendekat dan makanlah.” Aku menjawab, “Aku sedang berpuasa.” Beliau bersabda lagi, “Mendekatlah niscaya akan aku jelaskan padamu tentang puasa, sesungguhnya Allah Ta’ala tidak mewajibkan puasa atas musafir dan memberi keringanan separuh shalat untuknya juga memberi keringan bagi wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa.” (HR Tirmidzi dan an-Nasa’i).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar