Jumat, 03 Maret 2017

Pembahasan Seputar Taqlid dan Ittiba'

Syaikh Said Ramadhan al-Buthi mendefinisikan taqlid sebagai berikut:

"Taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengerti dalil yang digunakan atas keshahihan pendapat tersebut, walaupun mengetahui tentang keshahihan hujjah taqlid tersebut." (Lihat: al-Lamadzhabiyyah Akhtaru Bid'ah Tuhaddid al-Syari'ah al-Islamiyyah, hal. 69)

Karena itu, orang yang mengatakan "Orang itu bertaqlid tentang suatu perkara, maka yang dimaksud adalah seseorang mengikuti pendapat dalam suatu urusan tanpa tahu dan mengerti apalagi memikirkan dalil yang digunakan oleh orang yang diikutinya."

Taqlid itu hukumnya haram bagi seorang mujtahid, dan wajib bagi orang yang bukan mujtahid. Imam al-Suyuthi mengatakan:


"Kemudian, manusia itu ada yang menjadi mujtahid dan ada yang tidak. Bagi yang bukan mujtahid wajib bertaqlid secara mutlak, baik ia seorang yang awam ataupun orang yang alim. Berdasarkan firman Allah SWT (QS. al-Anbiya': 7), "Bertanyalah kamu kepada orang yang ahli (dalam bidangnya) jika kalian tidak tahu." (Lihat: al-Kawkab al-Sathi fi Nazhm Jam' al-Jawami', hal. 492)

Dengan demikian, taqlid itu tidak hanya terbatas pada orang awam saja. Orang-orang alim yang sudah mengetahui dalilpun masih dalam kategori seorang muqallid (orang yang bertaqlid). Selama belum sampai pada tingkat mujtahid, mereka tetap wajib bertaqlid, sebab pengetahuan mereka hanya sebatas dalil yang digunakan, tidak sampai kepada proses, metode dan seluk beluk dalam menentukan suatu hukum. Al-'Allamah Thayyib bin Abi Bakr  al-Hadhrami menegaskan:

"Orang alim yang tidak sampai pada tingkatan ijtihad, maka hukumnya seperti orang awam dalam hal kewajiban bertaqlid." (Lihat: Mathlab al-Iqazh fi al-Kalam 'ala Syai'in min Ghurar al-Alfazh, hal. 87)

Jadi, tidak semua taqlid itu tercela. Yang tidak terpuji hanyalah taqlid buta yang menerima suatu pendapat mentah-mentah, tanpa mengerti dan berusaha untuk mengetahui dalilnya. Sedangkan taqlid-nya orang alim yang belum sampai pada tingkatan mujtahid, adalah hal yang terpuji bahkan dianjurkan. Hal itu tentu lebih baik daripada 'memaksakan diri' untuk berijtihad padahal tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya.

Taqlid adalah suatu keniscayaan bagi setiap orang Islam. Setidak-tidaknya ketika awal melaksanakan bagian dari ajaran Islam. Seperti orang yang bersedekap di dalam shalat, mengangkat tangan ketika takbiratul ihram, dia tentu melakukannya walaupun belum meneliti dalilnya, apakah shahih atau tidak.

Jika di kemudian hari dia tahu argumentasinya, maka berarti dia telah keluar dari taqlid buta yang tercela itu. Namun demikian dia tetap berstatus sebagai seorang muqallid, karena tidak tahu dalil-dalil tersebut secara detail. Setidaknya, dalam cara mengambil suatu kesimpulan hukum, ia masih mengikuti metode dari imam mujtahid tertentu.

Taqlid itu sesungguhnya berlaku dalam berbagai persoalan dalam kehidupan ini. Seorang dokter, misalnya, ketika memberikan resep obat kepada pasiennya, tentu dia mengambilnya dari apotek, bukan dari obat hasil temuannya sendiri. Dia cukup membeli produk perusahaan obat tertentu yang bonafit. Begitu juga seorang guru geografi ketika menerangkan kepada murid-muridnya bahwa bumi itu bulat, dia hanya mengikuti teori Galileo Galilei dan Thomas Copernicus, bukan dari hasil penelitiannya sendiri. Dan begitu seterusnya.

Kemudian, bagaimana dengan Imam Abu Dawud yang meriwayatkan ucapan Imam Ahmad bin Hanbal:

"Imam Ahmad berkata kepadaku, "Janganlah kamu bertaqlid kepadaku, juga kepada Imam Malik, Imam Syafi'i, al-Awza'i, dan al-Tsauri. Tapi galilah dalil-dalil hukum itu sebagaimana yang mereka lakukan." (Lihat: al-Qawl l-Mufid li al-Imam Muhammad bin 'Ali al-Syawkani, hal. 61)

Coba perhatikan dengan seksama, kepada siapa Imam Ahmad bin Hanbal berbicara? Beliau menyampaikan ucapan itu kepada Imam Abu Dawud penyusun kitab Sunan Abi Dawud yang memuat 5.284 hadits lengkap dengan sanadnya. Tidak kepada masyarakat kebanyakan. Sehingga wajar, kalau Imam Ahmad mengatakan hal itu kepada Imam Abu Dawud, sebab beliau telah memiliki kemampuan untuk berijtihad.

Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Syaikh Waliyullah al-Dahlawi ketika mengomentari pendapat Ibn Hazm:

"Pendapat Ibn Hazm yang mengatakan bahwa taqlid itu haram ... (dan seterusnya).. itu hanya berlaku bagi orang yang memiliki kemampuan ijtihad walaupun hanya dalam satu masalah." (Lihat: Hujjatullah al-Balighah, Juz I, hal. 443-444)

Membebani masyarakat kebanyakan dengan ijtihad sendiri-sendiri jelas memberatkan dan mustahil. Karena minat setiap orang pada bidang-bidang ilmu pengetahuan itu berbeda-beda. Sedangkan yang menekuni ilmu agama tidaklah banyak. Bagi yang "tidak sempat" mempelajari ilmu agama, ia harus bertanya dan mengikuti orang-orang yang paham tentang masalah agama.

Al-Qur'an sudah menyatakan agar ada sekelompk orang yang menekui ilmu agama, tidak perlu semuanya. Sehingga mereka dapat memberikan fatwa kepada yang lain. Silakan dibuka QS. ak-Taubah: 22.

Sahabat Nabi Saw adalah orang-orang yang terpilih. Meskipun begitu, kualitas keilmuan mereka tidaklah sama, dan tidak semua mereka menjadi mujtahid. Sebagian mereka menjadi mufti, sebagian lainnya bertanya dan mengikuti apa yang difatwakan sahabat yang lain. Dan Rasulullah Saw mengutus beberapa sahabat ke berbagai daerah untuk menyebarkan Islam serta menyelesaikan semua persoalan yang terjadi, baik dalam bidang ibadah dan muamalah, sosial kemasyarakatan, menjelaskan halal-haram dan semacamnya. Lalu penduduk di daerah itu mengikuti apa yang difatwakan para sahabat tersebut.

Kaitannya dengan ittiba', sebagian orang ada yang membedakan dengan taqlid. Namun sebenarnya tidak ada perbedaan dengan kedua kata itu. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Syaikh al-Buthi:

"Tidak ada perbedaan kalau perbuatan itu disebut dengan taqlid atau ittiba'. Sebab kedua kata itu mempunyai arti yang sama. Dan tidak terbukti adanya perbedaan secara bahasa antara keduanya." (Lihat: al-Lamadzhabiyyah Akhtaru Bid'ah Tuhaddid al-Syari'ah al-Islamiyyah, hal. 69)

Bahkan kata ittiba' tidak selalu berarti baik. Tidak jarang di dalam al-Qur'an, ittiba' ditujukan untuk sesuatu yang tidak terpuji, sebagaimana firman Allah SWT:

"Dan janganlah kamu mengikuti (ittiba') langkah-langkah setan karena sesungguhnya dia merupakan musuh yang nyata bagi kalian." (QS. al-Baqarah: 168)

Dengan demikian, taqlid sesungguhnya merupakan sunnatullah (hukum alam) yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya ataupun diperjuangkan untuk dihapus. Namun demikian, bukan berarti umat Islam harus terperangkap pada taqlid buta, karena akan menggambarkan keterbelakangan serta rendahnya kualitas individu umat Islam.

Wallahu a'lam 




 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar