Namun apakah kelemahan dalil tersebut berdampak pada ketidakbolehan puasa di bulan Rajab? Berikut penjelasannya.
Rajab Termasuk Bulan Haram (Bulan yang Dimuliakan)
Bulan Rajab adalah bulan ke tujuh dari bulan hijriah (penanggalan Arab dan Islam). Peristiwa Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW untuk menerima perintah shalat lima waktu diyakini terjadi pada 27 Rajab ini.
Bulan Rajab juga merupakan salah satu bulan haram atau muharram yang artinya bulan yang dimuliakan. Dalam tradisi Islam dikenal ada empat bulan haram, ketiganya secara berurutan adalah: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan satu bulan yang tersendiri, Rajab.
Dinamakan bulan haram karena pada bulan-bulan tersebut orang Islam dilarang mengadakan peperangan. Tentang bulan-bulan ini, Al-Qur’an menjelaskan:
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan,
dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di
antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang
lurus. Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat
itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun
memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta
orang-orang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah: 36)
Hukum Puasa Rajab
Ditulis oleh al-Syaukani, dalam Nailul Authar, bahwa Ibnu Subki
meriwayatkan dari Muhammad bin Manshur al-Sam’ani yang mengatakan bahwa
tak ada hadits yang kuat yang menunjukkan kesunnahan puasa Rajab secara
khusus. Disebutkan juga bahwa Ibnu Umar memakruhkan puasa Rajab,
sebagaimana Abu Bakar al-Tarthusi yang mengatakan bahwa puasa Rajab
adalah makruh, karena tidak ada dalil yang kuat.
Namun demikian, sesuai pendapat al-Syaukani, bila semua hadits yang
secara khusus menunjukkan keutamaan bulan Rajab dan disunnahkan puasa di
dalamnya kurang kuat dijadikan landasan, maka hadits-hadits Nabi yang
menganjurkan atau memerintahkan berpuasa dalam bulan- bulan haram
(Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab) itu cukup menjadi hujjah
atau landasan. Di samping itu, karena juga tidak ada dalil yang kuat
yang memakruhkan puasa di bulan Rajab.
Diriwayatkan dari Mujibah al-Bahiliyah, Rasulullah SAW bersabda “Puasalah
pada bulan-bulan haram (mulia).” (Riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, dan
Ahmad). Hadits lainnya adalah riwayat al-Nasa’i dan Abu Dawud (dan
disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah): “Usamah berkata pada Nabi Muhammad SAW,
“Wahai Rasulullah, aku tak melihat engkau melakukan puasa (sunnah)
sebanyak yang engkau lakukan dalam bulan Sya’ban. Rasulullah SAW menjawab: ‘Bulan
Sya’ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadhan yang dilupakan oleh
kebanyakan orang.'”
Menurut al-Syaukani dalam Nailul Authar, dalam bahasan puasa
sunnah, ungkapan Nabi, “Bulan Sya’ban adalah bulan antara Rajab dan
Ramadhan yang dilupakan kebanyakan orang” itu secara implisit menunjukkan
bahwa bulan Rajab juga disunnahkan melakukan puasa di dalamnya.
Keutamaan berpuasa pada bulan haram juga diriwayatkan dalam
hadits sahih Imam Muslim. Bahkan berpuasa di dalam bulan-bulan mulia ini
disebut Rasulullah SAW sebagai puasa yang paling utama setelah puasa
Ramadhan. Nabi bersabda : “Seutama-utama puasa setelah Ramadhan adalah
puasa di bulan-bulan al-muharram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab).
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menyatakan bahwa kesunnahan berpuasa menjadi lebih kuat jika dilaksanakan pada hari-hari utama (al-ayyam al-fadhilah).
Hari-hari utama ini dapat ditemukan pada tiap tahun, tiap bulan dan
tiap minggu. Terkait siklus bulanan ini Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa
Rajab terkategori al-asyhur al-fadhilah di samping Dzulhijjah, Muharram dan Sya’ban. Rajab juga terkategori al-asyhur al-hurum di samping Dzulqa’dah, Dzul hijjah, dan Muharram.
Disebutkan dalam Kifayah al-Akhyar, bahwa bulan yang paling utama untuk berpuasa setelah Ramadhan adalah bulan-bulan haram
yaitu Dzulqa’dah, Dzul hijjah, Rajab dan Muharram. Di antara keempat
bulan itu yang paling utama untuk puasa adalah bulan al-Muharram,
kemudian Sya’ban. Namun menurut Syaikh Al-Rayani, bulan puasa yang utama
setelah al-Muharram adalah Rajab.
Terkait hukum puasa dan ibadah pada Rajab, Imam Nawawi menyatakan
“Memang benar tidak satupun ditemukan hadits shahih mengenai puasa
Rajab, namun telah jelas dan shahih riwayat bahwa Rasulullah SAW menyukai
puasa dan memperbanyak ibadah di bulan haram, dan Rajab adalah salah satu dari bulan haram,
maka selama tak ada pelarangan khusus puasa dan ibadah di bulan Rajab,
maka tak ada satu kekuatan untuk melarang puasa Rajab dan ibadah lainnya
di bulan Rajab.” (Syarh Nawawi ‘ala Shahih Muslim).
Imam Muslim mencantumkan dalam Shahih-nya riwayat berikut:
"Utsman bin Hakim al-Anshari berkata, ‘Saya pernah bertanya kepada Sa’id
Ibnu Jubair terkait puasa Rajab dan kami pada waktu itu berada di bulan
Rajab. Said menjawab, ‘Saya mendengar Ibnu ‘Abbas berkata bahwa
Rasulullah SAW berpuasa (berturut-turut) hingga kami menduga beliau SAW
selalu berpuasa, dan beliau tidak puasa (berturut-turut) sampai kami
menduga beliau tidak puasa." (HR Muslim)
Terkait hadits ini, khususnya jawaban Sa’id Ibnu Jubair saat ditanya hukum puasa Rajab, Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim berpendapat sebagai berikut;
الظاهر أن مراد سعيد بن جبير بهذا
الاستدلال أنه لانهى عنه ولا ندب فيه لعينه بل له حكم باقي الشهور ولم يثبت
في صوم رجب نهي ولا ندب لعينه ولكن أصل الصوم مندوب إليه وفي سنن أبي دود
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ندب إلى الصوم من الأشهر الحرم ورجب أحدها
“Istidlal yang
dilakukan Sa’id Ibnu Jubair menunjukkan tidak ada larangan dan kesunnahan
khusus puasa di bulan Rajab. Hukumnya disamakan dengan puasa di bulan
lainnya, sebab tidak ada larangan dan kesunahan khusus terkait puasa
Rajab. Akan tetapi hukum asal puasa adalah sunnah. Di dalam Sunan Abu Dawud disebutkan Rasulullah SAW menganjurkan puasa di bulan haram (bulan-bulan terhormat). Sementara Rajab termasuk bulan haram.”
Berdasarkan pendapat Imam Nawawi ini, hukum puasa di bulan Rajab
adalah sunnah. Pendapat ini berpatokan pada hukum asal puasa itu sendiri,
boleh dilakukan kapan pun kecuali pada hari-hari yang diharamkan untuk
berpuasa seperti hari raya Idhul Fitri dan Idhul Adha serta Tasyrik.
Hadist Dhaif Keutamaan Bulan Rajab
- Diriwayatkan bahwa apabila Rasulullah shalallahu ‘alahi wassalam memasuki bulan Rajab beliau berdo’a:“Ya, Allah berkahilah kami di bulan Rajab (ini) dan (juga) Sya’ban, dan sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan.” (HR. Imam Ahmad, dari Anas bin Malik)
- “Barangsiapa berpuasa pada bulan Rajab sehari, maka laksana ia puasa selama sebulan, bila puasa 7 hari maka ditutuplah untuknya 7 pintu neraka Jahim, bila puasa 8 hari maka dibukakan untuknya 8 pintu surga, dan bila puasa 10 hari maka digantilah dosa-dosanya dengan kebaikan.”
- Riwayat al-Thabarani dari Sa’id bin Rasyid: “Barangsiapa berpuasa sehari di bulan Rajab, maka ia laksana berpuasa setahun, bila puasa 7 hari maka ditutuplah untuknya pintu-pintu neraka jahanam, bila puasa 8 hari dibukakan untuknya 8 pintu surga, bila puasa 10 hari, Allah akan mengabulkan semua permintaannya…..
- “Sesungguhnya di surga terdapat sungai yang dinamakan Rajab, airnya lebih putih daripada susu dan rasanya lebih manis dari madu. Barangsiapa puasa sehari pada bulan Rajab, maka ia akan dikaruniai minum dari sungai tersebut”.
- Riwayat (secara mursal) Abul Fath dari al-Hasan, Nabi Muhammad Saw bersabda: “Rajab itu bulannya Allah, Sya’ban bulanku, dan Ramadan bulannya umatku.”
- Sabda Rasulullah SAW lagi : “Pada malam mi’raj, aku melihat sebuah sungai yang airnya lebih manis dari madu, lebih sejuk dari air batu dan lebih harum dari minyak wangi, lalu aku bertanya pada Jibril : “Wahai Jibril untuk siapakah sungai ini?” Maka berkata Jibril : “Ya Muhammad sungai ini adalah untuk orang yang membaca shalawat untuk engkau di bulan Rajab ini”.
Mengamalkan Hadits Dhaif
Ditegaskan oleh Imam Suyuthi dalam kitab al-Haawi lil Fataawi bahwa hadits-hadits tentang keutamaan dan kekhususan puasa Rajab tersebut terkategori dha’if (lemah atau kurang kuat).
Namun dalam tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah sebagaimana biasa
diamalkan para ulama generasi salaf yang saleh telah bersepakat
mengamalkan hadis dha’if dalam konteks fada’il al-a’mal (amal- amal utama).
Syaikhul Islam al-Imam al-Hafidz al-‘Iraqi dalam al-Tabshirah wa al-Tadzkirah mengatakan:
“Adapun hadits dha’if yang tidak maudhu’ (palsu),
maka para ulama telah memperbolehkan mempermudah dalam sanad dan
periwayatannya tanpa menjelaskan kedha’ifannya, apabila hadits itu tidak
berkaitan dengan hukum dan akidah, akan tetapi berkaitan dengan targhib (motivasi ibadah) dan tarhib (peringatan) seperti nasehat, kisah-kisah, fadha’il al-a’mal dan lain- lain…..”.
Wallahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar