Para ulama
berbeda pendapat perihal jual organ tubuh manusia ini. Perbedaan
pendapat ini muncul disebabkan
perbedaan cara pandang mereka melihat sejauh mana tingkat maslahat dan
mafsadat dari jual-beli organ tubuh manusia dan seberapa vital organ yang
diperjualbelikan itu.
Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijiri secara tegas mengharamkan jual-beli organ
tubuh manusia. Menurutnya, menjual organ tubuh dapat merusak fisik manusia.
Berikut ini kutipannya:
حكم بيع أعضاء الإنسان: لا
يجوز بيع العضو أو الجزء من الإنسان قبل الموت أو بعده، وإذا لم يحصل عليه المضطر
إلا بثمن جاز الدفع للضرورة، وحَرُم على الآخذ. وإن وهب العضو أو الجزء بعد الموت
لأي مضطر، وأُعطي مكافأة عليها قبل الموت جاز له أخذها. ولا يجوز للإنسان حال
الحياة أن يبيع أو يهب عضواً من أعضائه لغيره؛ لما في ذلك من إفساد البدن، وتعطيله
عن القيام بما فرض الله عليه، وتصرفه في ملك الغير بغير إذنه.
“Hukum menjual organ tubuh manusia: Tidak boleh menjual organ atau salah satu
anggota tubuh manusia baik selagi (ia)
hidup maupun setelah wafat
(nya). Bila tidak ada unsur terpaksa kecuali dengan harga tertentu, ia
boleh menyerahkannya dalam keadaan darurat. Tetapi ia diharamkan menerima
uangnya. Jika seseorang menghibahkan organ tubuhnya setelah ia wafat karena
suatu kepentingan mendesak, dan ia menerima sebuah imbalan atas hibahnya itu
saat ia hidup, ia boleh menerima imbalannya. Seseorang tidak boleh menjual atau
menghibahkan organ tubuhnya selagi ia hidup kepada orang lain. Karena praktik
itu dapat merusak tubuhnya dan dapat melalaikannya dari kewajiban-kewajiban
agamanya. Seseorang tidak boleh mendayagunakan (menjual, menghibah, dan akad
lainnya) milik orang lain tanpa seizin pemiliknya.” (Lihat: Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijiri, Mausu
‘atul Fiqhil Islami, juz 5, 2009, Baitul Afkar Ad-Dauliyah).
Dalam membahas masalah ini, kita juga bisa menyimak uraian Syaikh Wahbah Zuhaili perihal ketentuan
barang yang sah dijual menurut syara’ (agama). Menurut Az-Zuhaili, produk yang
sah dijual harus berupa harta, dapat dimiliki, dan bernilai. Berikut ini
keterangan lengkapnya:
أن يكون
المعقود عليه مشروعا يشترط أن يكون محل العقد قابلاً لحكمه شرعاً، باتفاق الفقهاء
(1)، بأن يكون مالاً مملوكاً متقوماً، فإن لم يكن كذلك، كان العقد عليه باطلاً،
فبيع غير المال كالميتة والدم (2)، أو هبتها أو رهنها أو وقفها أو الوصية بها
باطل؛ لأن غير المال لا يقبل التمليك أصلاً أجاز الشافعية والحنابلة خلافاً لأبي
حنيفة ومالك بيع حليب المرأة المرضع للحاجة إليه وتحقيق النفع به، وأجاز الحنابلة
بيع أعضاء الإنسان كالعين وقطعة الجلد إذا كان ينتفع بها ليرقع بها جسم الآخر
لضرورة الإحياء، وبناء عليه يجوز بيع الدم الآن للعمليات الجراحية للضرورة
“Syarat
sah produk yang dijual adalah barang yang boleh (dijual) sesuai syariat. Barang yang menjadi
tempat akad disyaratkan bisa menerima jual-beli secara hukum syara’. Sesuai
kesepakatan ulama, produk yang dijual itu harus berupa harta, bisa dimiliki,
dan bernilai. Kalau syarat produk itu tidak terpenuhi, akad terhadap barang itu
batal (tidak sah). Menjual, menghibahkan, menggadaikan, mewakafkan, atau
mewasiatkan produk bukan harta seperti bangkai dan darah, (dihukumi) batal (tidak sah). Karena barang
bukan harta pada dasarnya tidak menerima status kepemilikan. Berbeda dengan
Imam Hanafi dan Imam Malik, ulama madzhab Syafi’i dan madzhab Hanbali
membolehkan akad-jual beli air susu perempuan untuk suatu kepentingan dan
sebuah manfaat. Sementara ulama madzhab Hanbali membolehkan akad jual-beli
organ tubuh manusia seperti bola mata atau potongan kulit bilamana dimanfaatkan
untuk menambal tubuh orang lain sebagai kepentingan mendesak menghidupkan orang
lain. Atas dasar ini, menjual darah untuk kepentingan operasi bedah seperti
sekarang ini dibolehkan,” (Lihat: Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, juz
10, Darul Fikr, Beirut).
Syaikh Wahbah Az-Zuhaili lebih lanjut
memberikan batasan kategori harta. Dengan kategori ini, kita memiliki batasan
yang jelas terkait produk yang boleh dijual.
أن
يكون المبيع مالا متقوما. والمال عند الحنفية كما عرفنا سابقا: ما يميل إليه الطبع
ويمكن ادخاره لوقت الحاجة. وبعبارة أخرى : وهو كل ما يمكن أن يملكه الإنسان وينتفع
به على وجه معتاد. والأصح أنه هو كل عين ذات قيمة مادية بين الناس. والمتقوم ما
يمكن ادخاره مع إباحته شرعا. وبعبارة أخرى: هو ما كان محرزا فعلا ويجوز الانتفاع
به فى حالة الاختيار. فلا ينعقد ما ليس بمال كالإنسان الحروالميتة والدم... لا
ينعقد بيع هذه الأشياء لأنها معدة للفساد
“Produk
yang dijual harus berupa harta dan bernilai. Menurut madzhab Hanafi sebagaimana kita
ketahui, harta adalah sesuatu yang disenangi secara alamiah dan bisa disimpan
untuk suatu saat diperlukan. Dengan ungkapan lain, harta adalah sesuatu yang
bisa dimiliki dan diambil manfaatnya oleh seseorang pada lazimnya. Menurut
pendapat yang lebih ashah, harta adalah setiap benda yang bernilai dan
berupa material dalam pandangan manusia. Benda bernilai adalah sesuatu yang
boleh disimpan menurut syara’. Dengan kata lain, harta bisa dipahami sebagai
sesuatu yang harus dipelihara dan bisa dimanfaatkan sewaktu-waktu secara bebas.
Karenanya, transaksi jual-beli barang bukan harta seperti manusia merdeka,
bangkai, dan darah, tidak boleh... demikian juga menjual semua benda-benda itu
(yang bukan kategori harta) tidak boleh karena dapat membawa mafsadat,” (Lihat
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, juz 4, halaman
357-358, Darul Fikr, Beirut).
Meskipun
membolehkan jual-beli organ tubuh, sebagian madzhab Syafi’i tetap tidak bisa
menerima jual-beli ginjal. Pasalnya produk dijual hanya satu dari dua bagian
ginjal. Sedangkan transaksi jual-beli separuh produk yang dapat mengurangi nilai
barang itu sendiri, tidak sah.
ولا
يصح بيع نصف مثلا معين من الإناء والسيف و نحوهما كثوب نفيس تنقص بقطعه قيمته
للعجز عن تسليم ذلك شرعا لأن التسليم فيه لا يمكن إلا بالكسر أو القطع وفيه نقص
وتضييع مال وهو حرام
“Tidak sah menjual separuh dari suatu benda
tertentu seperti wadah, pedang, dan selain keduanya. Katakan menjual potongan
baju mahal. Harganya yang mahal menjadi merosot lantaran berupa potongan.
Karenanya menjual sebagian benda tertentu tidak sah karena kurang syarat dalam
hal penyerahannya secara utuh menurut syara’ (agama). Penyerahan suatu produk
dalam kasus ini hanya mungkin dengan mematahkan atau memotongnya yang menjadi
kekurangan dan penyia-nyiaan harta. Dan Itu haram,” (Lihat Al-Khatib
As-Syarbini, Mughnil Muhtaj fi Ma'rifati Ma'anil Minhaj, juz 2,
halaman 19, Darul Ma’rifah, Beirut).
KH. M. Syafi’i Hadzami mengatakan bahwa sebagian madzhab
Syafi’i mengharamkan secara mutlak jual-beli organ tubuh manusia, bahkan rambut
sekali pun. Hal itu didasarkan pada keterangan dalam kitab Asnal Mathalib karya Syaikh Abu Zakariya Al-Anshari.
وأما
فى الثانى فلأنه يحرم الانتفاع به وبسائر أجزاء الآدمي لكرامته
“Dan ada pun
pada masalah kedua (menyambung rambut dengan rambut anak Adam itu haram),
karena bahwasanya haram memanfaatkan rambut anak Adam dan segala suku-suku anak
Adam karena mulianya.” (Lihat: Syaikh Abu Zakariya Al-Anshari, Asnal
Mathalib Syarhu Raudlatit Thalib, juz I, halaman 173).
KH. M. Syafi’i Hadzami menegaskan, “Menjual adalah
termasuk salah satu daripada wujuhul intifa’, artinya jalan-jalan
memanfaatkan. Sedang memanfaatkan segala juzu’-juzu’ anak Adam adalah
diharamkan karena firman Allah SWT, ‘Wa laqad karramnâ banî âdama’, dan
telah kami takrimkan (permuliakan) akan anak-anak Adam,” (Lihat KHM
Syafi’i Hadzami, Taudhihul Adillah [100 Masalah Agama], juz III, halaman
284-285, Menara Kudus, 1982).
Dari sejumlah keterangan di atas, kecenderungan pada pendapat ulama yang
mengharamkan jual beli ginjal lebih kuat. Kalau pun pemerintah memperbolehkan
donor ginjal, regulasi yang mengatur ini harus betul-betul ketat dan mengikat.
Pasalnya ginjal merupakan organ yang sangat vital dalam tubuh manusia. Menurun
dan berkurangnya fungsi ginjal karena dijual salah satu bagiannya menimbulkan
pelbagai mudharat luar biasa secara medis.
Di
samping itu, pengharaman terhadap jual-beli ginjal dapat mengantisipasi potensi
kapitalisasi yang bisa saja melibatkan mafia-mafia di kalangan medis sendiri
atau orangtua. Pada lain sisi, kita tidak mengharapkan perampasan ginjal
orang-orang jalanan yang diculik atau diiming-imingi oleh pihak-pihak yang
ingin mengambil keuntungan dari transaksi jual-beli ginjal. Sementara
orang-orang jalanan tidak memiliki jaminan perlindungan hukum yang memadai di
Indonesia. Dan ini sangat rawan sekali.
Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar