Jumhur ulama sepanjang zaman telah sampai pada kata sepakat
bahwa kotoran hewan dan air kencing termasuk benda najis. Ada begitu banyak
dalil yang menunjukkan kenajisannya, dan rata-rata adalah hadits-hadits yang
telah diterima keshahihanya oleh para ahli hadits.
Namun kalau kita telusuri lebih dalam, ternyata ada juga
pendapat yang agak berbeda, dengan mengatakan bahwa ada jenis hewan yang air
kencing dan kotorannya bukan termasuk najis, yaitu khusus hewan-hewan yang
daging dan susunya halal dimakan.
Pendapat ini muncul di tengah para ulama dari madzhab Hanbali dan merupakan pendapat yang menyendiri.
1. Jumhur Ulama : Najis
Jumhur ulama khususnya madzhab Syafi'i dan Hanafi menegaskan bahwa semua benda yang keluar dari tubuh hewan lewat kemaluan depan atau belakang adalah benda najis. Tidak perduli apakah hewan itu halal dagingnya atau hewan itu tidak halal.
Maka dalam pandangan kedua madzhab ini, air kencing dan kotoran
hewan, hukumnya najis. Dasarnya kenajisan air kencing dan kotoran hewan adalah
sabda Rasulullah SAW :
عن
ابْنِ مَسْعُودٍ إِنَّ النَّبِيَّ طَلَبَ مِنْهُ أَحْجَارَ الاِسْتِنْجَاءِ
فَأَتَى بِحَجَرَيْنِ وَرَوْثَةٍ فَأَخَذَ الْحَجَرَيْنِ وَرَمَى بِالرَّوْثَةِ
وَقَال : هَذَا رِكْسٌ
Nabi SAW meminta kepada Ibnu Mas'ud sebuah batu untuk
istinja’, namun diberikan dua batu dan sebuah lagi yang terbuat dari kotoran
(tahi). Maka beliau mengambil kedua batu itu dan membuang tahi dan
berkata,"Yang ini najis". (HR. Bukhari)
إِنَّمَا
يُغْسَل الثَّوْبُ مِنْ خَمْسٍ : مِنَ الْغَائِطِ وَالْبَوْل وَالْقَيْءِ
وَالدَّمِ وَالْمَنِيِّ
Baju itu dicuci dari kotoran, kencing, muntah, darah, dan
mani. (HR. Al-Baihaqi dan Ad-Daruquthny)
Kalau pun ada hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW
pernah shalat di dalam kandang kambing, dalam pendapat mereka bukan berarti
beliau shalat di atas tumpukan najis, tetapi menggunakan alas, sehingga tetap
tidak terkena najis.
Demikian juga ketika Rasulullah SAW membolehkan seorang shahabat
yang meminum air kencing unta sebagai pengobatan, dalam pandangan mereka hal
itu terjadi karena darurat saja.Sebab minum air kencing unta itu bukan hal yang
lazim dilakukan setiap hari. Sejorok-joroknya orang Arab atau penggembala unta,
tidak ada yang mau minum air kencingnya, apalagi kotorannya.
2. Madzhab
Hanbali : Tidak Najis
Namun pendapat madzhab Hanbali menyebutkan bahwa air
kencing dan kotoran hewan yang halal dagingnya, atau halal air susunya, bukan
termasuk benda najis.
Misalnya kotoran ayam, dalam pandangan mazhab ini tidak
najis, karena daging ayam itu halal. Demikian juga kotoran kambing, sapi,
kerbau, rusa, kelinci, bebek, angsa dan semua hewan yang halal dagingnya, maka
air kencing dan kotorannya tidak najis.
Pendapat madzhab ini tentu terasa sangat asing bagi umat
Islam Indonesia yang sejak kecil terdidik dengan fiqih madzhab Syafi’i. Bahkan
mereka yang mengaku tidak bermadzhab Syafi’i pun, tetap saja memandang bahwa air
kencing dan kotoran hewan, seluruhnya tanpa membeda-bedakan, adalah benda-benda
najis.
Namun buat orang-orang yang terdidik dengan madzhab Hanbali, seperti mereka yang tinggal di Saudi Arabia, ketidaknajisan air
kencing dan kotoran unta, kambing, sapi dan sejenisnya, dianggap biasa-biasa
saja. Karena sejak kecil mereka diajarkan demikian.
Lalu apa dasar dan dalilnya, sehingga air kencing dan
kotoran hewan-hewan itu dianggap tidak najis?
Mereka menyodorkan hadits-hadits, misalnya diriwayatkan bahwa dahulu Rasulullah SAW pernah shalat di bekas kandang kambing.
كَانَ
النَّبِىُّ يُصَلِّى قَبْلَ أَنْ يُبْنَى الْمَسْجِدُ فِى مَرَابِضِ الْغَنَمِ
Dulu, sebelum dibangun Masjid Nabawi, Nabi SAW mendirikan
shalat di kandang kambing. (HR. Bukhari Muslim)
Selain itu juga diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW
mengizinkan seorang shahabatnya minum air kencing unta sebagai obat untuk
penyembuhan.
قَدِمَ أُنَاسٌ مِنْ عُكْلٍ أَوْ
عُرَيْنَةَ فَاجْتَوَوُا الْمَدِينَةَ فَأَمَرَهُمُ النَّبِىُّ بِلِقَاحٍ
وَأَنْ يَشْرَبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا. متفق عليه
Beberapa orang dari kabilah 'Ukel dan Urainah singgah di
kota Madinah. Tidak berapa lama perut mereka menjadi kembung dan bengkak karena
tak tahan dengan cuaca Madinah. Menyaksikan tamunya mengalami hal itu, Nabi SAW
memerintahkan mereka untuk mendatangi unta-unta milik Nabi yang digembalakan di
luar kota Madinah, lalu minum dari air kencing dan susu unta-unta tersebut.
(HR. Bukhari Muslim)
Memang pendapat tidak najisnya kotoran dan air kencing hewan
yang halal dagingnya merupakan pendapat unik dan eksklusif dari mazhab
Al-Hanabilah. Sebab tidak ada satu pun ulama di luar mazhab ini yang
mendukungnya. Boleh dibilang, mazhab Al-Hanabilah dalam hal ini agak menyendiri
dalam berpendapat.
Kandang Kambing
Lalu bagaimana tanggapan mazhab lainnya atas dalil-dalil di
yang diajukan oleh madzhab Hanbali di atas?
Sebagian ulama menjawab bahwa ketika Nabi SAW shalat di
dalam kandang kambing, tidak lantas menunjukkan bahwa kotoran kambing itu bukan
benda najis. Sebab masih ada banyak dalil yang tegas menyebutkan kenajisan
kotoran hewan. Maka dalil-dalil yang saling berbeda itu harus dicarikan titik
temunya.
Dan menemukan titik temunya mudah saja, karena bisa saja
Nabi SAW shalat di kandang kambing tanpa harus menyentuh kotorannya. Misalnya
dengan menggunakan alas, sehingga tidak langsung kena najisnya. Bahkan
tidak tertutup kemungkinan bahwa sebelum digunakan untuk shalat, kandang itu
dibersihkan terlebih dahulu. Secara nalar kita bisa bayangkan, jangankan untuk
shalat, untuk sekedar duduk-duduk di dalam kandang kambing pun, rasanya kita
akan merasa risih kalau harus menginjak-injak kotorannya. Belum lagi urusan
baunya yang tidak sedap.
Dan bisa saja yang dimaksud dengan kandang kambing itu
maksudnya adalah bangunan yang dahulu pernah digunakan sebagai kandang kambing.
Tetapi kemudian sudah tidak lagi jadi kandang kambing.
Kencing Unta
Lalu apa jawaban para ulama tentang kejadian Rasulullah SAW memerintahkan seseorang untuk minum air kencing unta? Bukankah hal itu menunjukkan bahwa air kencing unta itu tidak najis?
Jawaban para ulama
di luar madzhab Hanbali bahwa, bahkan madzhab Hanbali pun sepakat bahwa,
berobat dengan sesuatu yang haram atau najis hukumnya tetap tidak dibenarkan,
yakni haram hukumnya.
Dasarnya karena Rasulullah SAW pernah bersabda :
إِنَّ
اللَّهَ أَنْزَل الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَل لِكُل دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا
وَلاَ تَتَدَاوَوْا بِالْحَرَامِ
Sesungguhnya Allah SWT menurunkan penyakit dan juga obatnya.
Dan Allah menjadikan semua penyakit ada obatnya, maka berobatlah tetapi jangan
berobat dengan yang haram. (HR. Abu Daud).
Kalau pun Rasulullah SAW pernah memerintahkan seseorang
untuk minum air kencing unta, maka harus dicarikan titik temunya agar tidak
terjadi benturan dalil. Dan ada banyak alternatif titik temu yang bisa menjadi
kemungkinan.
a. Kemungkinan
Darurat
Bisa saja hal itu terjadi karena tuntutan kedaruratan yang
tidak ada jalan keluar lain di saat itu, kecuali hanya dengan minum air kecing
unta. Yang namanya darurat, maka sifatnya sementara, subjektif dan tertentu.
Dalam hal darurat, memang sesuatu yang asalnya haram, bisa saja untuk satu
momen tertentu berubah jadi halal.
Jadi secara nalar, jangankan cuma air kencing unta, bangkai babi sekalipun, kalau namanya darurat, akan berubah sementara menjadi halal. Tetapi begitu kondisi darurat sudah berlalu, maka bangkai babi itu menjadi haram kembali.
Begitu pula dengan air kencing unta, bisa saja dengan alasan
darurat, hukumnya menjadi halal untuk sementara waktu. Namun tetap saja dalam
kondisi normal, air kencing unta yang asalnya najis itu akan kembali lagi
menjadi najis.
b. Kemungkinan Hukum Khusus
Karena hadits minum air kencing unta ini termasuk hadits
yang rada bentrok dengan umumnya hadits tentang najisnya air kecing, maka
sebagian ulama ada yang memandang bahwa ada pengecualian hukum dalam
kasus-kasus tertentu.
Misalnya, Rasulullah SAW sebagai pembawa syariah Islam,
telah menetapkan haramnya puasa wishal. Namun kita menemukan hadits-hadits yang
menyebutkan bahwa beliau SAW sendiri puasa wishal.
Jawabannya bahwa dalam kasus-kasus di atas, telah terjadi
kekhususan atau mengecualian yang terjadi atas izin dan ketentuan dari Allah
SWT. Kekhususan itu tidak boleh dijadikan dasar hukum yang berlaku untuk kita,
tetapi khusus hanya buat Rasulullah SAW secara khusus, atau buat orang tertentu
atas sepengetahuan dan izin dari Rasulullah SAW.
Pertanyaannya, apakah ada hukum-hukum yang berlaku khusus hanya untuk orang tertentu?
Jawabnya ada, dan hal itu tertuang di dalam Al-Quran
Al-Karim, sebagaimana firman Allah dalam kisah Khidhir dan Musa. Bukankah
membunuh itu haram hukumnya? Tetapi mengapa Nabi Khidhir malah diperintah oleh
Allah SWT untuk membunuh nyawa manusia? Nabi Musa yang menjadi saksi peristiwa
pembunuhan itu pun sempat protes, tetapi ketika beliau menyadari bahwa
pembunuhan itu atas perintah langsung dari Allah SWT, maka beliau pun diam dan
menerima.
Karena termasuk pengecualian khusus, maka kita tidak boleh
menggunakan dalil itu untuk kita praktekkan sendiri. Kita diharamkan untuk
membunuh nyawa manusia. Tidak boleh kita berdalil bahwa Nabi Khidhir saja
melakukannya, kenapa kita tidak boleh?
Demikian juga dengan kasus air kencing unta, menurut jumhur
ulama hukumnya hanya halal buat konteks saat dimana Nabi SAW membolehkan buat
orang tersebut saja. Sedangkan buat kita, hukumnya tetap najis dan tidak boleh
diminum.
c.
Kemungkinan Sudah Dihapus Hukumnya
Dan masih ada kemungkinan yang lain, yaitu nasakh dan
mansukh. Maksudnya, bisa saja apa-apa yang tadinya dihukumi sebagai halal dan
boleh, kemudian seiring dengan berjalannya waktu, syariat Islam kemudian
mengharamkannya.
Bukankah sebelumnya nikah mut'ah itu boleh hukumnya? Namun
ketika turun dalil-dalil berikutnya yang mengharamkan nikah mut'ah, maka
hukumnya pun berubah menjadi haram.
Demikian juga dengan kasus bolehnya minum air kecing unta.
Bisa saja memang awalnya dibolehkan, namun seiring dengan proses tasyri',
kemudian hukumnya berubah menjadi haram. Buktinya kita menemukan begitu banyak
dalil yang menujukkan najisnya air kencing.
Itulah beberapa jawaban dari para ulama di luar madzhab Hanbali, yang menegaskan bahwa kotoran kambing dan air kencing unta tetap
najis.
Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar