Sabtu, 22 April 2017

Menjawab Tuduhan Bid’ah Kaum Salafi-Wahabi Atas Dzikir Jahar Seusai Shalat



Berdzikir secara berjamaah dengan suara nyaring –terutama seusai shalat berjamaah— telah biasa dilakukan oleh mayoritas umat Islam. Para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah sejak masa lalu mengajarkan hal itu hingga kemudian diamalkan umat Islam sampai saat ini. Namun kemudian muncul fatwa dari kalangan Salafi-Wahabi yang mengatakan bahwa berdzikir dengan suara nyaring (dzikir jahar) adalah bid’ah yang tak pernah dituntunkan oleh Rasulullah SAW.

Dalil yang Membid’ahkan

Biasanya yang dijadikan dalil untuk membid’ahkan dzikir dengan suara nyaring adalah:


1. Firman Allah SWT:

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِيْ نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيْفَةً وَدُوْنَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلاَ تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِيْنَ

“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. al-A’raf [7]: 205).

Dengan ayat ini, mereka mengatakan bahwa Allah SWT melarang untuk melakukan dzikir dengan suara nyaring.

2. Hadits dari Abu Musa al-Asy’ari ra:

عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَأَشْرَفْنَا عَلَى وَادٍ فَذَكَرَ مِنْ هَوْلِهِ فَجَعَلَ النَّاسُ يُكَبِّرُونَ وَيُهَلِّلُونَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ وَرَفَعُوا أَصْوَاتَهُمْ فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا إِنَّهُ مَعَكُمْ

“Dari Abu Musa ia berkata, “Suatu saat kami bersama Rasulullah SAW dalam sebuah perjalanan, lalu kami melewati suatu lembah -ia kemudian menyebutkan kedahsyatannya- orang-orang pun bertakbir dan bertahlil (dengan suara keras), maka Nabi SAW bersabda, “Wahai sekalian manusia, pelankanlah suara kalian saat berdoa dan bertakbir.” Namun mereka tetap mengangkat suara mereka, maka beliau pun bersabda, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian tidaklah berdoa kepada Tuhan yang tuli, tidak pula gaib, sesungguhnya Dia bersama kalian.” (HR Ahmad, Tirmidzi, al-Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah).

Berdasarkan hadits ini mereka berkata, “Mengapa kita harus mengeraskan suara dalam berdzikir? Padahal hadits dari Abu Musa al-Asy’ari di atas jelas-jelas memperlihatkan bahwa Nabi SAW memerintahkan untuk  merendahkan suara ketika berdzikir.”

Jawabannya

Untuk menjawab dalil pertama, simaklah uraian yang disampaikan oleh al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi dalam al-Hawi li al-Fatawi halaman 293-294 berikut:

“Bila kamu bertanya: (Bukankah) Allah Ta’ala telah berfirman: “Dan sebutlah nama Rabb-mu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan tidak dengan mengeraskan suara.”

Aku (Imam Suyuthi) mencoba menjawab dengan tiga jawaban:

Pertama: “Ayat tersebut termasuk kategori Makkiyah seperti halnya ayat al-Isra’: “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu di dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya”. Sesungguhnya ayat ini diturunkan ketika Rasulullah SAW mengeraskan bacaan al-Qur’an dan terdengar oleh orang-orang musyrikin, sehingga mereka mencaci-maki ayat-ayat al-Qur’an dan yang menurunkannya (yakni Allah Ta’ala). Lalu Allah Ta’ala memerintahkan untuk meninggalkan jahar untuk menutup wasilah (cercaan mereka). Sama halnya dengan pelarangan memaki-maki patung-patung mereka pada firman-Nya: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.”

Dan alasan pelarangan tersebut sekarang telah sirna. Ini pula yang ditunjukkan Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya.

Kedua: “Sebagian mufassir, di antaranya: Abdurrahman bin Zaid bin Aslam (guru Imam Malik), dan Ibnu Jarir, mendorong ayat ini kepada  keadaan  pedzikir saat ada pembacaan al-Qur’an, bahwa dianjurkan demikian untuk menghormati al-Qur’an, agar suara dzikir tidak dikeraskan di sisinya. Hal ini diperkuat oleh firman Allah sebelumnya: “Dan apabila dibacakan al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah”. Menurut hematku: Saat diperintahkan ‘inshat’ (diam dan memperhatikan) seakan-akan ada kekhawatiran mengarah kepada (sikap) menganggur (dari dzikir), maka Allah menegaskan pada ayat selanjutnya, sekalipun ada perintah berhenti dzikir dengan lisan, namun perintah dzikir dengan hati tetaplah abadi sehingga jangan sampai lalai dari menyebut (nama) Allah Ta’ala. Oleh karena itu, ayat ini diakhiri dengan: “Janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai (dari menyebut nama Allah Ta’ala).”

Ketiga: Para ulama sufi menyebutkan, bahwa ayat di atas dikhususkan hanya untuk Nabi SAW yang memang telah begitu sempurna. Sedangkan orang-orang selain beliau, yang merupakan tempat was-was dan gudangnya pikiran-pikiran buruk, dianjurkan mengeraskan suara zikir, karena lebih memberi efek pada menolak kekurangan-kekurangan tersebut. Menurutku, pendapat ulama sufi di atas didukung oleh hadits yang dikeluarkan al-Bazzar dari Mu’adz bin Jabal ra yang berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja yang shalat  pada malam hari hendaklah mengeraskan bacaannya, karena sesungguhnya para malaikat ikut shalat bersamanya dan mendengar bacaannya, dan sesungguhnya seluruh jin Mukmin yang terbang di udara serta tetangga  yang berada dalam rumahnya ikut pula shalat dan mendengar bacaannya, dan sesungguhnya pengerasan bacaan juga dapat mengusir jin-jin fasiq dan setan-setan jahat dari rumah dan sekitarnya”.

Kalau engkau bertanya: (Bukankah) Allah Ta’aala telah berfirman: “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendah diri dan suara yang lembut, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” Dan kata ‘melampaui batas’ ditafsirkan dengan ‘mengeraskan suara doa’, maka aku akan menjawab dengan dua jawaban sebagai berikut:

Pertama: Tafsir yang rajih mengenai ayat ini, bahwa ‘melampaui batas’ ditafsirkan dengan ‘melampaui yang diperintahkan’ atau ‘mengada-ngadakan doa yang tidak ada dasarnya dalam agama’. Penafsiran ini diperkuat oleh hadits yang dikeluarkan Ibnu Majah dan al-Hakim dalam kitab Mustadrak-nya, sekaligus men-shahih-kannya, dari Abu Nu’amah ra, bahwa Abdullah bin Mughaffal mendengar anaknya berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu sebuah istana putih di sebelah kanan surga.” Abdullah menegur anaknya: “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Akan muncul dalam kalangan umatku nanti suatu kaum yang melampaui batas dalam doa-doa mereka”. Beginilah penafsiran seorang sahabat yang mulia, yang beliau lebih tahu apa yang dimaksudkan oleh sebuah nash.

Kedua: Anggaplah kita menerima (bahwa ayat di atas memang melarang mengeraskan suara), tapi hanya mengeraskan suara pada doa, bukan dalam berdzikir. Secara khusus doa memang lebih utama disirrkan, karena lebih dekat kepada ijabah. Inilah alasannya mengapa Allah Ta’ala berfirman: ”Yaitu tatkala ia (Nabi Zakaria) berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang  lemah-lembut”. Dan karena itulah disunnahkan mensirrkan bacaan “ta’awwudz” dalam shalat secara ittifaq, karena ia adalah doa.”

Nah, dari uraian al-Hafizh Jalaluddin Suyuthi di atas dapat disimpulkan bahwa QS. al-A’raf ayat 205 di atas tidak bisa dijadikan dalil untuk melarang dan membid’ahkan dzikir dengan suara nyaring, karena ayat tersebut memang tidak berbicara tentang pelarangan itu.

Sedangkan untuk dalil kedua, berikut jawabannya:

Alasan ini pun tidak tepat dijadikan dalil untuk melarang, membid’ahkan atau mengharamkan semua bentuk dzikir dengan suara nyaring (dzikir jahar). Mengapa? Karena perintah irba’uu dalam hadits tersebut bukanlah hukum wajib sehingga berakibat haramnya berdzikir secara jahar (nyaring). Hal ini karena perintah dengan menggunakan kata ar-rab’u adalah semata-mata untuk memberikan kemudahan kepada mereka.

Berdasarkan inilah maka Syaikh Ad-Dahlawi dalam al-Lama’aat Syarh al-Misykat mengatakan bahwa irba’uu adalah satu isyarat di mana larangan jahar hanyalah untuk memudahkan, bukan karena jahar itu tidak disyariatkan. Sebenarnya hadits ini berkaitan dengan larangan mengangkat suara saat berdzikir di  jalan (di perjalanan). Hal ini berbeda dengan dzikir nyaring (jahar) setelah shalat yang benar-benar disunnahkan karena terdapat banyak hadits shahih yang menegaskannya. 

Kalau sekiranya Rasulallah SAW tidak mencegah para sahabat berdzikir secara keras (nyaring/jahar) di jalanan, apalagi waktu itu dalam suasana peperangan menaiki dan menuruni bukit, maka mereka jelas akan menyangka bahwa mengeraskan suara dzikir secara berlebihan sewaktu dalam perjalanan adalah disunnahkan, karena perbuatan mereka itu didiamkan oleh Rasulallah SAW. Padahal perbuatan seperti itu tidaklah dikehendaki oleh beliau SAW. Peristiwa yang dikisahkan dalam hadits di atas terjadi saat para sahabat bersama Rasulullah SAW dalam perjalanan perang menuju Khaibar. Tentu saja melakukan dzikir dengan suara keras dalam keadaan seperti itu tidak akan membawa kebaikan, bahkan bisa jadi akan menimbulkan bencana bila kemudian didengar oleh musuh, yakni orang-orang kafir.

Selain itu, Rasulullah SAW melarang para sahabat melakukan hal itu agar mereka nantinya tidak merasa bertambah lelah dan kesulitan dalam menghadapi peperangan. Bukankah keletihan akan semakin berlipat ketika perjalanan yang ditempuh cukup jauh ditambah rasa letih akibat berdzikir dengan suara keras? Itulah alasan lain pelarangan berdzikir keras dalam hadits di atas. Pengarang kitab Fathul Wadud Syarah Sunan Abi Dawud mengatakan bahwa kata-kata rafa’uu ashwaatahum menunjukkan bahwa mereka itu terlalu berlebihan dalam menjaharkan dzikir. Maka hadits itu tidaklah menegaskan terlarangnya menjaharkan dzikir secara mutlak. Jadi dzikir jahar yang dilakukan oleh para sahabat itu adalah jahar yang berlebih-lebihan.

Bila hadits dari Abu Musa al-Asy’ari di atas dipakai sebagai dalil untuk melarang semua bentuk dzikir secara jahar (nyaring), maka akan berbenturan dengan hadits-hadits shahih  yang berkaitan dengan dzikir secara jahar.

Berikut akan kami sampaikan dalil shahih yang menjelaskan tentang kesunnahan berdzikir dengan suara nyaring (jahar) setelah shalat berjamaah.

Dalam Sahih Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan pada Bab Dzikir setelah shalat, dari Ibnu Abbas ra, beliau berkata:

أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ

Sesungguhnya mengeraskan suara dzikir ketika orang-orang usai melaksanakan shalat wajib merupakan kebiasaan yang berlaku pada zaman Rasulullah SAW.” Ibnu Abbas menambahkan, “Aku mengetahui mereka selesai shalat dengan itu, apabila aku mendengarnya.

Masih dari Ibnu Abbas ra, ia berkata:

كُنْتُ أَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلاَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالتَّكْبِيرِ

Aku megetahui selesainya shalat Nabi SAW dari suara takbir. (HR Bukhari).

Hadits-hadits di atas merupakan dalil tentang sunnahnya menjaharkan (mengeraskan) suara dzikir sesudah shalat. Dan ini menjadi bantahan bagi mereka yang melarang dan membid’ahkannya.

Ibnu Daqiqil Id, juga menyatakan hal yang sama, “Dalam hadits ini, terdapat dalil bolehnya mengeraskan dzikir setelah shalat, dan takbir secara khusus termasuk dalam kategori dzikir.” (Ihkamul Ahkam Syarah Umdatul Ahkam)

Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim mengatakan, bahwa hadits ini adalah dalil bagi pendapat sebagian ulama salaf bahwa disunnahkan mengeraskan suara takbir dan dzikir sesudah shalat wajib.

Dalam Shahihain, dari hadits al-Mughirah bin Syu’bah ra berkata, “Aku mendengar Nabi SAW membaca apabila telah selesai shalat:

لَا إِلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ
 
Tidak ada tuhan yang hak kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya.

Tentu saja al-Mughirah ra tidak akan mendengar dzikir ini kalau bukan karena Rasulullah SAW mengeraskan suaranya saat membacanya.

Ibnu Taimiyah, para ulama salaf dan khalaf memilih menjaharkan dzikir sesudah shalat berdasarkan hadits Ibnu Abbas dan al-Mughirah di atas. Adapun orang yang berkata bahwa menjaharkan bacaan dzikir sesudah shalat adalah bid’ah, sungguh dia telah salah. Bagaimana mungkin sesuatu yang biasa dilaksanakan pada zaman Nabi SAW disebut bid’ah?

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ

Dari Abu Hurairah ra berkata, “Nabi SAW bersabda, “Allah SWT berfirman, “Aku berada dalam prasangka hamba-Ku, dan Aku selalu bersamanya jika ia mengingat-Ku, jika ia mengingat-Ku dalam dirinya, maka Aku mengingatnya dalam diri-Ku, dan jika ia mengingat-Ku dalam perkumpulan, maka Aku mengingatnya dalam perkumpulan yang lebih baik daripada mereka.” (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Al-Hafizh Jalaluddin Suyuthi berkomentar, “Dan berdzikir dalam kelompok yang besar tidak lain dilaksanakan secara jahar.”

Ada banyak hadits yang memperlihatkan bahwa melakukan dzikir jahar bukanlah sesuatu yang terlarang. Al-Hafizh Jalaluddin Suyuthi dalam al-Hawi li al-Fatawi  telah mengumpulkan 25 hadits yang menunjukkan dalil disyariatkannya dzikir secara berjamaah dan dengan suara nyaring (dzikir jahar). Oleh karena itu, tidaklah benar vonis bid’ah yang disampaikan oleh sebagian orang terhadap dzikir jahar yang dilakukan seusai shalat berjamaah atau pada momen-momen lain di luar shalat berjamaah.

Bila kemudian ada dalil yang juga shahih yang menganjurkan untuk melakukan dzikir secara sirr (pelan) atau bahkan di dalam hati, namun tidak berarti bahwa dalil itu bisa dijadikan landasan untuk membid’ahkan umat Islam yang berdzikir secara jahar. Sikap yang demikian tentu bukan sikap yang bijaksana. Terkait dengan hal ini, Imam Nawawi memberikan penjelasan:

 بِأَنَّ اْلإِخْفَاءَ أَفْضَلُ حَيْثُ خَافَ الرِّيَاءَ أَوْ تَأَذَّى بِهِ الْمُصَلُّوْنَ أَوْ نِيَامٌ وَالْجَهْرُ فِيْ غَيْرِ ذَلِكَ أَفْضَلُ لِأَنَّ الْعَمَلَ فِيْهِ أَكْثَرُ وَلِأَنَّ فَائِدَتَهُ تَتَأَدَّى اِلَى السَّامِعِيْنَ وَلِأَنَّهُ يُوْقِظُ قَلْبَ الْقَارِئِ وَيَجْمَعُ هَمَّهُ اِلَى الْفِكْرِ وَيَصْرِفُ سَمْعَهُ اِلَيْهِ وَيَطْرِدُ النَّوْمَ وَيَزِيْدُ فِي النَّشَاطِ

“Membaca dzikir dengan pelan itu lebih utama jika dapat menimbulkan sifat riya’ dan mengganggu orang yang sedang shalat atau tidur. Pada selain dua keadaan ini mengeraskan dzikir lebih utama karena pekerjaan yang dilakukan lebih banyak, manfaat dari dzikir itu mengingatkan hati orang yang membaca, memusatkan segenap pikirannya untuk terus merenungkan dan menghayati dzikir yang dibaca, mengonsentrasikan pendengarannya, menghilangkan rasa kantuk dan menambah semangat.” (Al-Hawi li al-Fatawi, Juz II, halaman 133).

Kesimpulannya, bahwa dzikir jahar (dengan suara nyaring) setelah shalat berjamaah adalah disyariatkan di dalam Islam dan bukanlah perkara bid’ah. Dengan demikian tuduhan dan vonis bid’ah yang disampaikan oleh sebagian orang terhadap amalan dzikir jahar tidaklah memiliki dasar, bahkan bisa dikatakan bertentangan dengan dalil-dalil shahih yang ada. 

Sumber: Buku Menjawab Vonis Bid'ah Kaum Salafi-Wahabi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar