Berdzikir secara
berjamaah dengan suara nyaring –terutama seusai shalat berjamaah— telah biasa dilakukan oleh mayoritas umat
Islam. Para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah sejak masa lalu mengajarkan
hal itu hingga kemudian diamalkan umat Islam sampai saat ini. Namun kemudian muncul fatwa dari kalangan
Salafi-Wahabi yang mengatakan bahwa berdzikir dengan suara nyaring (dzikir
jahar) adalah bid’ah yang tak pernah dituntunkan oleh Rasulullah SAW.
Dalil yang Membid’ahkan
Biasanya yang
dijadikan dalil untuk membid’ahkan dzikir dengan suara nyaring adalah:
1. Firman Allah SWT:
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِيْ نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيْفَةً
وَدُوْنَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلاَ تَكُنْ مِنَ
الْغَافِلِيْنَ
“Dan sebutlah
(nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan
tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk
orang-orang yang lalai.” (QS. al-A’raf [7]: 205).
Dengan ayat ini,
mereka mengatakan bahwa Allah SWT melarang untuk melakukan dzikir dengan suara
nyaring.
2. Hadits dari Abu Musa al-Asy’ari ra:
عَنْ أَبِي
مُوسَى قَالَ كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي
سَفَرٍ فَأَشْرَفْنَا عَلَى وَادٍ فَذَكَرَ مِنْ هَوْلِهِ فَجَعَلَ النَّاسُ
يُكَبِّرُونَ وَيُهَلِّلُونَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ وَرَفَعُوا أَصْوَاتَهُمْ فَقَالَ
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا إِنَّهُ
مَعَكُمْ
“Dari Abu Musa ia berkata, “Suatu saat kami bersama Rasulullah SAW dalam
sebuah perjalanan, lalu kami melewati suatu lembah -ia kemudian menyebutkan
kedahsyatannya- orang-orang pun bertakbir dan bertahlil (dengan suara keras),
maka Nabi SAW bersabda, “Wahai sekalian manusia, pelankanlah suara kalian saat
berdoa dan bertakbir.” Namun mereka tetap
mengangkat suara mereka, maka beliau pun bersabda, “Wahai sekalian manusia,
sesungguhnya kalian tidaklah berdoa kepada Tuhan yang tuli, tidak pula gaib,
sesungguhnya Dia bersama kalian.” (HR
Ahmad, Tirmidzi, al-Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah).
Berdasarkan hadits ini mereka berkata, “Mengapa
kita harus mengeraskan suara dalam berdzikir? Padahal hadits dari Abu Musa al-Asy’ari
di atas jelas-jelas memperlihatkan bahwa Nabi SAW memerintahkan untuk merendahkan suara ketika berdzikir.”
Jawabannya
Untuk menjawab
dalil pertama, simaklah uraian yang disampaikan oleh al-Hafizh Jalaluddin
al-Suyuthi dalam al-Hawi li al-Fatawi halaman 293-294 berikut:
“Bila kamu
bertanya: (Bukankah) Allah Ta’ala telah berfirman: “Dan sebutlah nama
Rabb-mu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan tidak dengan
mengeraskan suara.”
Aku (Imam
Suyuthi) mencoba menjawab dengan tiga jawaban:
Pertama: “Ayat tersebut termasuk
kategori Makkiyah seperti halnya ayat al-Isra’: “Dan janganlah kamu
mengeraskan suaramu di dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya”.
Sesungguhnya ayat ini diturunkan ketika Rasulullah SAW mengeraskan bacaan
al-Qur’an dan terdengar oleh orang-orang musyrikin, sehingga mereka
mencaci-maki ayat-ayat al-Qur’an dan yang menurunkannya (yakni Allah Ta’ala).
Lalu Allah Ta’ala memerintahkan untuk meninggalkan jahar untuk menutup wasilah
(cercaan mereka). Sama halnya dengan pelarangan memaki-maki patung-patung
mereka pada firman-Nya: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang
mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan.”
Dan alasan
pelarangan tersebut sekarang telah sirna. Ini pula yang ditunjukkan Ibnu Katsir
dalam Tafsir-nya.
Kedua: “Sebagian mufassir, di antaranya:
Abdurrahman bin Zaid bin Aslam (guru Imam Malik), dan Ibnu Jarir, mendorong
ayat ini kepada keadaan pedzikir saat ada pembacaan al-Qur’an,
bahwa dianjurkan demikian untuk menghormati al-Qur’an, agar suara dzikir tidak
dikeraskan di sisinya. Hal ini diperkuat oleh firman Allah sebelumnya: “Dan
apabila dibacakan al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah”.
Menurut hematku: Saat diperintahkan ‘inshat’ (diam dan memperhatikan)
seakan-akan ada kekhawatiran mengarah kepada (sikap) menganggur (dari dzikir), maka
Allah menegaskan pada ayat selanjutnya, sekalipun ada perintah berhenti dzikir
dengan lisan, namun perintah dzikir dengan hati tetaplah abadi sehingga jangan
sampai lalai dari menyebut (nama) Allah Ta’ala. Oleh karena itu, ayat ini
diakhiri dengan: “Janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai (dari
menyebut nama Allah Ta’ala).”
Ketiga: Para ulama sufi menyebutkan,
bahwa ayat di atas dikhususkan hanya untuk Nabi SAW yang memang telah begitu
sempurna. Sedangkan orang-orang selain beliau, yang merupakan tempat was-was
dan gudangnya pikiran-pikiran buruk, dianjurkan mengeraskan suara zikir, karena
lebih memberi efek pada menolak kekurangan-kekurangan tersebut. Menurutku,
pendapat ulama sufi di atas didukung oleh hadits yang dikeluarkan al-Bazzar
dari Mu’adz bin Jabal ra yang berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja
yang shalat pada malam hari hendaklah mengeraskan bacaannya, karena
sesungguhnya para malaikat ikut shalat bersamanya dan mendengar bacaannya, dan
sesungguhnya seluruh jin Mukmin yang terbang di udara serta tetangga yang
berada dalam rumahnya ikut pula shalat dan mendengar bacaannya, dan
sesungguhnya pengerasan bacaan juga dapat mengusir jin-jin fasiq dan
setan-setan jahat dari rumah dan sekitarnya”.
Kalau engkau bertanya: (Bukankah) Allah Ta’aala
telah berfirman: “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendah diri dan suara
yang lembut, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas.” Dan kata ‘melampaui batas’ ditafsirkan dengan ‘mengeraskan
suara doa’, maka aku akan menjawab dengan dua jawaban sebagai berikut:
Pertama: Tafsir yang rajih mengenai ayat
ini, bahwa ‘melampaui batas’ ditafsirkan dengan ‘melampaui yang diperintahkan’
atau ‘mengada-ngadakan doa yang tidak ada dasarnya dalam agama’. Penafsiran
ini diperkuat oleh hadits yang dikeluarkan Ibnu Majah dan al-Hakim dalam kitab Mustadrak-nya,
sekaligus men-shahih-kannya, dari Abu Nu’amah ra, bahwa Abdullah bin
Mughaffal mendengar anaknya berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon
kepadaMu sebuah istana putih di sebelah kanan surga.” Abdullah menegur anaknya:
“Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Akan muncul dalam kalangan umatku
nanti suatu kaum yang melampaui batas dalam doa-doa mereka”. Beginilah
penafsiran seorang sahabat yang mulia, yang beliau lebih tahu apa yang
dimaksudkan oleh sebuah nash.
Kedua: Anggaplah
kita menerima (bahwa ayat di atas memang melarang mengeraskan suara), tapi
hanya mengeraskan suara pada doa, bukan dalam berdzikir. Secara khusus doa
memang lebih utama disirrkan, karena lebih dekat kepada ijabah. Inilah
alasannya mengapa Allah Ta’ala berfirman: ”Yaitu tatkala ia (Nabi Zakaria)
berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lemah-lembut”. Dan karena
itulah disunnahkan mensirrkan bacaan “ta’awwudz” dalam shalat secara ittifaq,
karena ia adalah doa.”
Nah, dari uraian al-Hafizh Jalaluddin Suyuthi di
atas dapat disimpulkan bahwa QS. al-A’raf ayat 205 di atas tidak bisa dijadikan
dalil untuk melarang dan membid’ahkan dzikir dengan suara nyaring, karena ayat
tersebut memang tidak berbicara tentang pelarangan itu.
Sedangkan untuk
dalil kedua, berikut jawabannya:
Alasan ini pun tidak tepat dijadikan dalil untuk melarang, membid’ahkan atau mengharamkan semua bentuk dzikir dengan suara nyaring
(dzikir jahar). Mengapa? Karena perintah irba’uu dalam hadits tersebut bukanlah hukum wajib
sehingga berakibat haramnya berdzikir secara jahar (nyaring). Hal ini karena
perintah dengan menggunakan kata ar-rab’u adalah semata-mata untuk memberikan
kemudahan kepada mereka.
Berdasarkan inilah maka Syaikh Ad-Dahlawi
dalam al-Lama’aat Syarh al-Misykat mengatakan bahwa irba’uu adalah satu isyarat di mana
larangan jahar hanyalah untuk memudahkan, bukan
karena jahar itu tidak disyariatkan. Sebenarnya
hadits ini berkaitan dengan larangan mengangkat suara saat berdzikir di jalan
(di perjalanan). Hal ini berbeda dengan dzikir nyaring (jahar)
setelah shalat yang benar-benar disunnahkan karena terdapat banyak hadits shahih yang menegaskannya.
Kalau sekiranya Rasulallah SAW tidak
mencegah para sahabat berdzikir secara keras (nyaring/jahar) di jalanan,
apalagi waktu itu dalam suasana peperangan menaiki dan menuruni bukit, maka
mereka jelas akan menyangka bahwa mengeraskan suara dzikir secara berlebihan sewaktu dalam
perjalanan adalah disunnahkan, karena perbuatan mereka itu didiamkan oleh
Rasulallah SAW. Padahal perbuatan seperti itu tidaklah dikehendaki oleh beliau SAW.
Peristiwa yang dikisahkan dalam hadits di atas terjadi saat para sahabat
bersama Rasulullah SAW dalam perjalanan perang menuju Khaibar. Tentu saja
melakukan dzikir dengan suara keras dalam keadaan seperti itu tidak akan
membawa kebaikan, bahkan bisa jadi akan menimbulkan bencana bila kemudian
didengar oleh musuh, yakni orang-orang kafir.
Selain itu, Rasulullah SAW melarang
para sahabat melakukan hal itu agar mereka nantinya tidak merasa bertambah
lelah dan kesulitan dalam menghadapi peperangan. Bukankah keletihan akan
semakin berlipat ketika perjalanan yang ditempuh cukup jauh ditambah rasa letih
akibat berdzikir dengan suara keras? Itulah alasan lain pelarangan berdzikir
keras dalam hadits di atas. Pengarang kitab Fathul
Wadud Syarah Sunan Abi Dawud mengatakan bahwa kata-kata rafa’uu ashwaatahum menunjukkan bahwa mereka itu terlalu berlebihan dalam menjaharkan
dzikir. Maka hadits itu tidaklah menegaskan terlarangnya menjaharkan dzikir
secara mutlak. Jadi dzikir jahar yang dilakukan oleh para sahabat itu adalah jahar yang berlebih-lebihan.
Bila hadits dari Abu Musa al-Asy’ari
di atas dipakai sebagai dalil untuk melarang semua bentuk dzikir secara jahar
(nyaring), maka akan berbenturan dengan hadits-hadits shahih yang
berkaitan dengan dzikir secara jahar.
Berikut akan kami sampaikan dalil shahih
yang menjelaskan tentang kesunnahan berdzikir dengan suara nyaring (jahar)
setelah shalat berjamaah.
Dalam Sahih Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan
pada Bab Dzikir setelah shalat, dari Ibnu Abbas ra, beliau berkata:
أَنَّ رَفْعَ
الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى
عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ
أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ
“Sesungguhnya mengeraskan suara dzikir
ketika orang-orang usai melaksanakan shalat wajib merupakan kebiasaan yang
berlaku pada zaman Rasulullah SAW.” Ibnu Abbas menambahkan, “Aku
mengetahui mereka selesai shalat dengan itu, apabila aku mendengarnya.”
Masih dari Ibnu
Abbas ra, ia berkata:
كُنْتُ أَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلاَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالتَّكْبِيرِ
“Aku
megetahui selesainya shalat Nabi SAW dari suara takbir.” (HR Bukhari).
Hadits-hadits di
atas merupakan dalil tentang sunnahnya menjaharkan (mengeraskan) suara dzikir
sesudah shalat. Dan ini menjadi bantahan bagi mereka yang melarang dan
membid’ahkannya.
Ibnu Daqiqil Id,
juga menyatakan hal yang sama, “Dalam hadits ini, terdapat dalil
bolehnya mengeraskan dzikir setelah shalat, dan takbir secara khusus termasuk dalam
kategori dzikir.” (Ihkamul Ahkam Syarah Umdatul Ahkam)
Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim
mengatakan, bahwa hadits ini adalah dalil bagi pendapat sebagian ulama salaf
bahwa disunnahkan mengeraskan suara takbir dan dzikir sesudah shalat wajib.
Dalam Shahihain,
dari hadits al-Mughirah bin Syu’bah ra
berkata, “Aku mendengar Nabi SAW
membaca apabila telah selesai shalat:
لَا
إِلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ
“Tidak ada tuhan yang hak kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya.”
Tentu saja
al-Mughirah ra tidak akan mendengar dzikir ini kalau bukan karena Rasulullah
SAW mengeraskan suaranya saat membacanya.
Ibnu Taimiyah,
para ulama salaf dan khalaf memilih menjaharkan dzikir sesudah shalat
berdasarkan hadits Ibnu Abbas dan al-Mughirah
di atas. Adapun orang yang berkata bahwa menjaharkan bacaan dzikir
sesudah shalat adalah bid’ah, sungguh dia telah salah. Bagaimana mungkin
sesuatu yang biasa dilaksanakan pada zaman Nabi SAW disebut bid’ah?
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ اللهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ
إِذَا ذَكَرَنِي فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ
ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ
Dari Abu Hurairah ra berkata, “Nabi SAW bersabda, “Allah SWT berfirman,
“Aku berada dalam prasangka hamba-Ku, dan Aku selalu bersamanya jika ia
mengingat-Ku, jika ia mengingat-Ku dalam dirinya, maka Aku mengingatnya dalam
diri-Ku, dan jika ia mengingat-Ku dalam perkumpulan, maka Aku mengingatnya
dalam perkumpulan yang lebih baik daripada mereka.” (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Al-Hafizh
Jalaluddin Suyuthi berkomentar, “Dan berdzikir dalam kelompok yang besar tidak
lain dilaksanakan secara jahar.”
Ada banyak
hadits yang memperlihatkan bahwa melakukan dzikir jahar bukanlah sesuatu yang
terlarang. Al-Hafizh Jalaluddin Suyuthi dalam al-Hawi li al-Fatawi telah mengumpulkan 25 hadits yang menunjukkan
dalil disyariatkannya dzikir secara berjamaah dan dengan suara nyaring (dzikir
jahar). Oleh karena itu, tidaklah benar vonis bid’ah yang disampaikan oleh
sebagian orang terhadap dzikir jahar yang dilakukan seusai shalat berjamaah
atau pada momen-momen lain di luar shalat berjamaah.
Bila kemudian ada dalil yang juga shahih
yang menganjurkan untuk melakukan dzikir secara sirr (pelan) atau bahkan di
dalam hati, namun tidak berarti bahwa dalil itu bisa dijadikan landasan untuk
membid’ahkan umat Islam yang berdzikir secara jahar. Sikap yang demikian
tentu bukan sikap yang bijaksana. Terkait dengan hal ini, Imam Nawawi
memberikan penjelasan:
بِأَنَّ اْلإِخْفَاءَ
أَفْضَلُ حَيْثُ خَافَ الرِّيَاءَ أَوْ تَأَذَّى بِهِ الْمُصَلُّوْنَ أَوْ نِيَامٌ
وَالْجَهْرُ فِيْ غَيْرِ ذَلِكَ أَفْضَلُ لِأَنَّ الْعَمَلَ فِيْهِ أَكْثَرُ
وَلِأَنَّ فَائِدَتَهُ تَتَأَدَّى اِلَى السَّامِعِيْنَ وَلِأَنَّهُ يُوْقِظُ
قَلْبَ الْقَارِئِ وَيَجْمَعُ هَمَّهُ اِلَى الْفِكْرِ وَيَصْرِفُ سَمْعَهُ
اِلَيْهِ وَيَطْرِدُ النَّوْمَ وَيَزِيْدُ فِي النَّشَاطِ
“Membaca
dzikir dengan pelan itu lebih utama jika dapat menimbulkan sifat riya’ dan
mengganggu orang yang sedang shalat atau tidur. Pada selain dua keadaan ini
mengeraskan dzikir lebih utama karena pekerjaan yang dilakukan lebih banyak,
manfaat dari dzikir itu mengingatkan hati orang yang membaca, memusatkan
segenap pikirannya untuk terus merenungkan dan menghayati dzikir yang dibaca,
mengonsentrasikan pendengarannya, menghilangkan rasa kantuk dan menambah
semangat.” (Al-Hawi li al-Fatawi, Juz II, halaman 133).
Kesimpulannya,
bahwa dzikir jahar (dengan suara nyaring) setelah shalat berjamaah adalah
disyariatkan di dalam Islam dan bukanlah perkara bid’ah. Dengan demikian
tuduhan dan vonis bid’ah yang disampaikan oleh sebagian orang terhadap amalan
dzikir jahar tidaklah memiliki dasar, bahkan bisa dikatakan bertentangan dengan
dalil-dalil shahih yang ada.
Sumber: Buku Menjawab Vonis Bid'ah Kaum Salafi-Wahabi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar