Muhammadiyah pada awalnya, saat didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan, adalah organisasi Islam yang bermadzhab Syafi'i. Saat itu Muhammadiyah, sebagaimana yang tercermin dari sifat-sifat keulamaan Kiai Dahlan tidaklah berbeda dengan sifat-sifat Islam di Nusantara pada umumnya. Kiai Dahlan sama dengan kiai pesantren yang lain, dan sekolah Muhammadiyah pun sama dengan pesantren yang lain yang mengajarkan ilmu agama dengan menggunakan huruf pegon. Yang sedikit membuatnya berbeda hanyalah Kiai Dahlan mau menerima cara-cara Belanda yang lebih bersih dan tertib, berupa ruang kelas dengan meja-kursi dan papan tulis, serta mengajarkan huruf latin dan bahasa Belanda.
Usaha Kiai Dahlan dalam membetulkan arah kiblat Masjid Raya Keraton Yogyakarta, yang dianggap sebagai sebuah bentuk pembaruan, sesungguhnya adalah masalah khilafiyah dalam madzhab Syafi'i yang telah lama ada dan sudah diperbincangkan oleh para ulama sejak ratusan tahun lalu. Usaha Kiai Dahlan yang menerapkan metode hisab untuk pelaksanaan ibadah, penentuan kiblat, penanggalan hijriyah, penentuan waktu shalat, dan sebagainya, sesungguhnya juga telah dilakukan oleh banyak ulama di Nusantara sejak masa Walisongo.
Sebab itulah, Kiai Dahlan dan Muhammadiyah masa 1912-1925 memiliki banyak kesamaan dengan ulama lainnya dengan pesantren masing-masing, sekaligus memiliki sedikit perbedaan khas yang menunjukkan keunggulan masing-masing dalam menunjukkan mutu pengajaran.
Dari segi nasab, Kiai Dahlan memiliki nasab yang bersambung ke tokoh Walisongo, yaitu Maulana Malik Ibrahim, dalam urutan ke-12. Dari segi pendidikan, Kiai Dahlan menempuh pendidikan sama seperti santri lain ketika itu, yaitu nyantri kepada beberapa ulama. Kitab akidah yang dikajinya adalah kitab para ulama Ahlussunnah wal Jama'ah, dan fiqih dari madzhab Syafi'i, sedangkan tasawuf dari Imam al-Ghazali.
Dalam kurun waktu 1883-1888, Kiai Dahlan bermukim di Mekah untuk menunaikan haji dan nyantri. Di sana beliau belajar ilmu hadits kepada Kiai Mahfud Termas dan Syaikh Khayat, ilmu qira'ah kepada Syaikh Amin dan Sayyid Bakri Syatha, ilmu falaq kepada KH. Dahlan Semarang, dan ilmu racun binatang kepada Syaikh Hasan. Beliau juga nyantri kepada Syaikh Ahmad Khatib dan Syaikh Jamil Jambek dari Minangkabau, Kai Najrowi dari Banyumanm Kiai Nawawi dari Banten, dan para ulama yang berasal dari tanah Arab lainnya, serta mengkaji pemikiran baru yang berkembang di Arab.
Pada tahun 1903 diusianya ke-35, Kiai Dahlan kembali ke Mekah. Di sana beliau belajar ilmu fiqih kepada Syaikh Saleh Bafadal, Syaikh Said Yamani, dan Syaikh Said Babusyel. Belajar ilmu hadits kepada Mufti Syafi'i, ilmu falaq kepada Kiai Asy'ari Bawean, ilmu qira'at kepada Syaikh Ali Misri Mekah. Beliau juga berguru kepada Kiai Mas Abdullah dari Surabaya dan Kiai Faqih dari Maskumambang.
Dari pendidikan dan pergaulannya itu, Kiai Dahlan memiliki banyak kesamaan dengan ulama pesantren lain di zamannya, juga di zaman kini, yaitu ulama pesantren yang tergabung dalam Nahdlatul Ulama.
Sepanjang tahun 1916-1920, Kiai Dahlan sering tabligh di Surabaya. Di sana beliau menemukan seorang ulama pembaru, yaitu KH. Mas Mansur, yang tak lain adalah salah seorang pendiri Taswirul Afkar. Kiai Mas Mansur mendirikan Taswirul Afkar pada tahun 1914 bersama sahabat lamanya, KH Wahab Hasbullah (Tokoh NU), yang pada tahun 1916 kemudian berkembang menjadi madrasah Nahdlatul Wathan. Kiai Mas Mansur pada tahun 1921 pindah ke Muhammadiyah.
Lewat tablighnya di Pekalongan, Kiai Dahlan menemukan lagi seorang ulama pembaru dari Minangkabau bernama Sutan Mansur, yang kemudian bergiat di Muhammadiyah pada tahun 1922. Lewat Sutan Mansur inilah tokoh pembaru dari Minangkabau lainnya pun bergabung dengan Muhammadiyah, yakni Haji Rasul dan organisasi Sumatera Tawalibnya yang memiliki banyak madrasah.
Dengan masuknya tokoh-tokoh pembaru ini ke Muhammadiyah, sesekali muncullah pembahasan tentang khilafiyah sehingga timbul perselisihan paham yang merugikan persatuan Islam. Perdebatan bab khilafiyah yang sudah tutup ratusan tahun lalu itu dibuka lagi tanpa rasa malu dengan alasan dakwah. Pihak-pihak yang tersakiti oleh fatwa yang menyalahkan itu akhirnya membalas hingga terjadilah balas membalas.
Para ulama pesantren yang pada awalnya mendukung gerakan pembaruan, kemudian berubah sikap sebab dipersalahkan sebagai kaum kolot karena tak mau lepas dari madzhab dan khazanah keilmuan lama. Kongres Umat Islam yang awalnya diadakan untuk membina persatuan, akhirnya melenceng menjadi perdebatan membela paham masing-masing demi memajukan kelompoknya sendiri.
Pokok ajaran kaum pembaru Islam adalah kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah secara langsug dengan ijtihad pribadi, sehingga menghapus mata rantai sejarah dan ijtihad para sahabat Nabi, tabi'in dan alim ulama, yang telah dikaji dan diamalkan selama ratusan hingga ribuan tahun. Mereka pun mencela amaliah yang dinilai tidak bersumber pada al-Qur'an dan Sunnah dan dinilai menghambat kemajuan Islam, dan menuduh pelakunya terkungkung taklid buta kepada madzhab serta dituduh menutup pintu ijtihad. Seolah-olah mereka menganggap para imam madzhab itu tidak hafal dan tidak mengerti al-Qur'an dan Sunnah. Sedangkan tokoh-tokoh yang banyak dirujuk oleh para pembaru ini adalah Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab (pendiiri Wahabi). Para pembaru garis keras pun mulai berani mengafirkan dan memerangi umat Islam yang berbeda paham dengan mereka, khususnya para ulama pesantren yang umumnya pro-adat.
Berbeda dengan pandangan masa mudanya yang selaras dengan ulama pesantren yang mendidiknya, masa-masa akhir kehidupan Kiai Dahlan diliputi kesibukan memajukan Muhammadiyah yang kala itu sudah dikerumuni oleh kaum nasionalis dan kaum pembaru, hingga beliau mau tidak mau harus mengayomi mereka semua.
Saat itu, kebanyakan ulama pesantren hanya berdakwah secara individu di masjid dan surau secara lesehan, dan hanya sedikit yang mendirikan organisasi pengajaran semacam madrasah, dan nyaris tidak ada yang mau mendaftarkan madrasah atau pesantren mereka menjadi organisasi berbadan hukum Belanda, apalagi mengharap sumbangan Belanda.
Pengajaran ulama saat itu umumnya dilakukan secara sederhana, layaknya masa Nabi Saw. Belanda pun tak mau mendukung mereka. Mereka jauh dari gaya hidup modern dan pola pikir modern hingga sering dicap kolot dan menyimpang oleh kaum pembaru.
Tatkala cap miring seperti itu diadukan oleh ulama Surabaya dan Kudus kepada Kiai Dahlan saat Kongres Al Islam di Cirebon tahun 1922, beliau pun menjawab, "Muhammadiyah berusaha mengangkat agama Islam dari keadaan terbelakang. Banyak penganut Islam yang menjunjung tinggi tafsir para ulama daripada al-Qur'an dan Hadits. Umat Islam harus kembali kepada al-Qur'an dan Hadits. Harus mempelajari langsung dari sumbernya, dan tidak hanya melalui kitab-kitab tafsir."
Empat bulan setelah kongres tersebut, tepatnya 23 Februari 1923, Kiai Dahlan wafat di usia 55 tahun. Sepeninggal beliau, Muhammadiyah dipimpin oleh KH. Ibrahim, yakni sejak tahun 1923 hingga 1934. Muhammadiyah tetap berkembang pesat. Wafatnya sosok pengayom itu mempercepat arus perubahan yang dibawa generasi muda, hingga mengubah watak persyarikatan Muhammadiyah menjadi lebih keras.
Namun, di masa-masa akhir kehidupan Kiai Dahlan dan dua tahun setelah wafatnya, corak fiqih yang berlaku di Muhammadiyah masih fiqih madzhab Syafi'i. Hal itu dibuktikan dengan adanya Kitab Fiqih Jilid 3 yang dikarang dan dikeluarkan oleh Muhammadiyah Bagian Taman Pustaka Yogyakarta pada tahun 1924. Penerbitan Kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 itu adalah tapal batas utama sebelum fiqih Muhammadiyah berubah pada tahun 1925 menuju pembauran fiqih madzhab Syafi'i dengan paham Wahabi.
Sumber tulisan: Buku Muhammadiyah Itu NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar