Minggu, 12 Juni 2016

"Shalat Iftitah": Sunnah Nabi yang Diamalkan Secara Salah Kaprah


Pengertian “Shalat Iftitah”

“Shalat Iftitah” merupakan   istilah yang tidak dikenal dalam kitab-kitab referensi Islam, baik hadits maupun fiqh. Ia adalah nama yang dilabelkan kepada shalat sunnah dua rakaat ringan yang biasa dilakukan Rasulullah Saw sebelum beliau menunaikan shalat tahajud di malam hari. Tulisan ini tidak hendak membahas istilah “Shalat Iftitah”, namun lebih menyoroti kepada tata cara pelaksanaannya dan keterkaitannya dengan Shalat Tarawih.

Pada setiap bulan Ramadhan di sebagian masjid akan kita temukan adanya pelaksanaan shalat sunnah dua rakaat secara berjamaah yang waktunya antara shalat ba’diyah Isya dan Shalat Tarawih. Biasanya imam akan membaca surat al-Fatihah secara jahr (namun ada juga yang sirr) kemudian rukuk tanpa membaca salah satu surat dari al-Qur’an. Inilah yang sering diistilahkan oleh orang-orang yang mengamalkannya sebagai “Shalat Iftitah”.


Dalil-dalil Kesunnahan “Shalat Iftitah”

عَنْ عَائَشَةَ قَالَتْ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَا قَامَ مِنَ الَّيْلِ اِفْتَتَحُ صَلَاتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيْفَتَيْنِ –مسلم
Dari Aisyah ra berkata, “Adalah Rasulullah Saw apabila bangun malam, beliau memulai shalat (malamnya) dengan dua rakaat ringan.” (HR Muslim)

عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِذَا قَامَ اَحَدُكُمْ مِنَ الَّيْلِ فَلْيَفْتَتِحْ صَلَاتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيْفَتَيْنِ –مسلم

Dari Abu Hurairah ra berkata, “Bersabda Rasulullah Saw, “Apabila salah seorang di antara kamu bangun malam, maka mulailah shalat malamnya dengan dua rakaat ringan.” (HR Muslim).

أَنَّ كُرَيْبًا مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ قَالَ: سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ كَيْفَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاللَّيْلِ؟ قَالَ: بِتُّ عِنْدَهُ لَيْلَةً وَهُوَ عِنْدَ مَيْمُونَةَ فَنَامَ، حَتَّى إِذَا ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ أَوْ نِصْفُهُ اسْتَيْقَظَ فَقَامَ إِلَى شَنٍّ فِيهِ مَاءٌ فَتَوَضَّأَ، وَتَوَضَّأْتُ مَعَهُ، ثُمَّ قَامَ فَقُمْتُ إِلَى جَنْبِهِ عَلَى يَسَارِهِ، فَجَعَلَنِي عَلَى يَمِينِهِ، ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ عَلَى رَأْسِي كَأَنَّهُ يَمَسُّ أُذُنِي كَأَنَّهُ يُوقِظُنِي، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ، قَدْ قَرَأَ فِيهِمَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ، ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ صَلَّى حَتَّى صَلَّى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً بِالْوِتْرِ ثُمَّ نَامَ

Kuraib bekas budak Ibnu Abbas berkata, “Aku pernah bertanya kepada Ibnu Abbas, Bagaimanakah shalat malam Rasulullah Saw?” Ibnu Abbas menjawab, “Aku pernah bermalam di sisi beliau, ketika itu beliau berada di rumah Maimunah, beliau tidur sehingga apabila sepertiga malam telah berlalu atau tengah malam, beliau bangun dan pergi ke bejana yang berisi air. Beliau berwudhu dan aku pun ikut berwudhu bersama beliau, lalu beliau berdiri dan aku pun berdiri di samping kiri beliau. Kemudian beliau menempatkanku di sebelah kanan beliau, beliau meletakkan tangannya di atas kepalaku seolah-olah menjewer telingaku dan membangunkanku, kemudian beliau shalat dua rakaat ringan. Beliau membaca al-Fatihah di setiap rakaatnya kemudian salam. Setelah itu beliau mengerjakan shalat hingga sebelas rakaat beserta witirnya, lalu tidur.” (HR Abu Dawud).

Permasalahan

اِسْتَيْقَظَ بَعْضُهُمْ بِهَذَا الْحَدِيْثِ عَلَى عَدَمِ مَشْرُوْعِيَّةِ قِرَأَةِ السُّوْرَةِ غَيْرِ الْفَاتِحَةِ فِي رَكْعَتَيْنِ خَفِيْفَتَيْنِ لِظَاهِرِ الْحَدِيْثِ
Sebagian orang berkesimpulan dengan hadits ini bahwa dalam pelaksanaan “Shalat Iftitah” tidak disyariatkan membaca surat apa pun dari al-Qur’an setelah bacaan al-Fatihah pada setiap rakaatnya, dan menurut mereka yang demikian itulah yang dinamakan dengan dua rakaat ringan. Hal ini sesuai dengan zhahir-nya hadits tersebut. (Lihat kembali HR Abu Dawud di atas).

Penjelasan

Tidak disebutkannya membaca surat dalam hadits tersebut tidak berarti bahwa membaca surat setelah bacaan al-Fatihah tidak disyariatkan. Kalau kita perhatikan kembali redaksi hadits riwayat Abu Dawud di atas, ternyata di sana pun tidak disebutkan secara zhahir adanya tasyahud. Apakah karena hal itu kemudian kita simpulkan dalam “Shalat Iftitah” tidak disyariatkan tasyahud? Demikian halnya dengan kalimat, Beliau membaca al-Fatihah di setiap rakaatnya kemudian salam...” Apakah hadits itu kemudian akan dipahami bahwa Nabi Saw setelah membaca al-Fatihan langsung salam? Tentu saja kesimpulan yang seperti itu keliru.

Jika kemudian yang menjadi alasan tidak disyariatkannya membaca surat setelah bacaan al-Fatihah karena ia merupakan dua rakaat ringan (khafifatain), maka ketahuilah bahwa shalat sunnah dua rakaat sebelum subuh juga disebut sebagai dua rakaat ringan (khafifatain), dan ternyata di dalamnya Nabi Saw membaca surat setelah bacaan al-Fatihah. Simaklah hadits-hadits berikut ini:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ حَفْصَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ أَخْبَرَتْهُ، أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ مِنَ اْلأَذَانِ لِصَلاَةِ الصُّبْحِ، وَبَدَا الصُّبْحُ، رَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تُقَامَ الصَّلاَةُ

Dari Ibnu Umar, beliau berkata bahwasanya Hafshah Ummul Mukminin telah menceritakan kepadanya bahwa dahulu bila muadzin selesai mengumandangkan adzan untuk shalat subuh dan telah masuk waktu subuh, Rasulullah Saw melaksanakan shalat sunnah dua rakaat dengan ringan sebelum melaksanakan shalat subuh. ( HR Bukhari).

Aisyah ra berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءِ وَاْلإِقَامَةِ مِنْ صَلاَةِ الصُّبْحِ

“Dahulu Nabi Saw shalat dua rakaat ringan antara adzan dan iqamat shalat subuh.” (HR Bukhari).

Aisyah ra berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُخَفِّفُ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ الصُّبْحِ حَتىَّ إِنِّيْ لأَقُوْلُ: هَلْ قَرَأَ بِأُمِّ الْكِتَابِ؟

"Nabi Saw meringankan dua rakaat shalat sunnah subuh sebelum shalat fardhu Subuh, sampai-sampai aku bertanya, “Apakah beliau membaca surat Al-Fatihah?"  (HR Bukhari dan Muslim).

Ketiga hadits di atas menginformasikan pada kita bahwa shalat sunnah dua rakaat sebelum Subuh yang dikerjakan Nabi Saw adalah dua rakaat ringan. Apakah Nabi Saw membaca surat di dalamnya? Mari kita simak lagi hadits-hadits berikut ini:

Abu Hurairah ra berkata:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ فِيْ رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ
“Rasulullah Saw membaca dalam dua rakaat shalat sunnah subuh surat al-Kafirun dan surat al-Ikhlas.” (HR Muslim).

Ibnu Abbas ra berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ فِي اْلأُوْلَى مِنْهُمَا قُولُوا آمَنَّا بِاللهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا الْآيَةَ الَّتِي فِي الْبَقَرَةِ وَفِي الْآخِرَةِ مِنْهُمَا آمَنَّا بِاللهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

“Rasulullah Saw dalam dua rakaat shalat sunnah subuh membaca ayat quuluu aamannaa billaahi wa maa unzila ilainaa (QS. al-Baqarah: 136) pada rakaat pertama  dan membaca aamannaa billaahi wasyhad biannaa muslimuun (QS. Ali Imran: 52) pada rakaat kedua.” ( HR Muslim).

Ibnu Abbas ra berkata:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ قُولُوا آمَنَّا بِاللهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَالَّتِي فِي آلِ عِمْرَانَ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ

"Rasulullah Saw dalam dua rakaat shalat sunnah subuh membaca firman Allah quuluu aamannaa billaahi wa maa unzila ilainaa (QS. al-Baqarah: 136) dan membaca ta’aalau ilaa kalimatin sawaa-in bainanaa wa bainakum (QS. Ali Imran 64).” (HR Muslim).

Ringkasnya, ada tiga jenis variasai yang biasa dibaca Nabi Saw dalam shalat sunnah qabliyah subuh, yaitu:

  • Rakaat pertama membaca surat al-Kafirun dan rakaat kedua membaca surat al-Ikhlas.
  • Rakaat pertama membaca  ayat dalam surat al-Baqarah: 136 dan rakaat kedua membaca ayat dalam surat Ali Imran: 52.
  • Rakaat pertama membaca ayat dalam surat al-Baqarah: 136 dan rakaat kedua membaca ayat dalam surat Ali Imran: 64.

Berdasarkan hadits-hadits di atas jelaslah bahwa di dalam khafifataini (dua rakaat ringan) tidak berarti tidak disyariatkan membaca surat setelah bacaan al-Fatihah. Melaksanakan shalat, baik wajib maupun sunnah, tanpa membaca surat adalah sah, namun hal itu tidak boleh dijadikan sebagai sebuah kebiasaan karena Nabi Saw tidak mengajarkan hal yang demikian itu. Dengan demikian, tidak membaca surat dalam “Shalat Iftitah” adalah boleh, namun hendaknya tidak dijadikan kebiasaan, apalagi difatwakan tidak disyariatkan karena hal itu tidak sesuai dengan tuntunan Nabi Saw.

Keterkaitannya dengan Shalat Tarawih

Sebelum melaksanakan shalat malam kita dianjurkan terlebih dahulu mengawalinya dengan shalat dua rakaat ringan, yang dewasa ini diberi label sebagai “Shalat Iftitah” (dua rakaat pembuka). Berdasarkan tiga hadits yang disebutkan di awal tulisan ini kita bisa melihat bahwa Nabi Saw melaksanakan “Shalat Iftitah” setelah beliau bangun dari tidur, bukan sebelum tidur. Jika hal ini dikaitkan denga Shalat Tarawih yang biasa dilakukan setelah Isya, maka menjadi kurang tepat jika diawali dengan “Shalat Iftitah”, sebab ia dilakukan sebelum tidur. Lain halnya jika shalat tarawih itu dilakukan di tengah malam setelah sebelumnya tidur, maka tidaklah mengapa jika diawali dengan “Shalat Iftitah”. Selain itu, shalat tarawih yang dilakukan langsung setelah shalat Isya juga menjadi kurang tepat untuk diawali dengan “Shalat Iftitah”, mengingat sudah bukan iftitah lagi, karena sudah didahului Shalat Isya empat rakaat dan shalat sunnah ba’diyah Isya dua rakaat. Jika demikian adanya, di mana fungsinya sebagai iftitah (pembuka)?

Mengapa Nabi Melaksanakannya Setelah Bangun Tidur?

Hikmah dianjurkannya mengawali shalat malam dengan dua rakaat ringan setelah bangun tidur adalah agar tiga ikatan yang diikatkan setan di tengkuk manusia saat ia tidur menjadi lepas, sehingga meringankannya menunaikan shalat malam. Simaklah hadits berikut ini:

Abu Hurairah ra berkata bahwa Nabi Saw bersabda:

يَعْقِدُ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ ثَلاَثَ عُقَدٍ إِذَا نَامَ، بِكُلِّ عُقْدَةٍ يَضْرِبُ عَلَيْكَ لَيْلاًَ طَوِيْلاًَ، فَإِذَا اسْتَيْقَظَ فَذَكَرَ اللهَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ، وَإِذَا تَوَضَّأَ انْحَلَّتْ عَنْهُ عُقْدَتَانِ، فَإِذَا صَلَّى انْحَلَّتْ الْعُقَدُ، فَأَصْبَحَ نَشِيْطًا طَيِّبَ النَّفْسِ، وَإِلاَّ أَصْبَحَ خَبِيْثَ النَّفْسِ كَسْلاَنَ

“Setan akan mengikat tengkuk salah seorang dari kalian saat ia tidur dengan tiga ikatan. Dengan setiap ikatan ia akan membisikkan padamu bahwa malam masih panjang. Jika ia terbangun lalu berdzikir kepada Allah, lepaslah satu ikatan, jika ia berwudhu maka lepaslah dua ikatan, dan jika ia melanjutkan dengan shalat, maka lepaslah seluruh ikatan itu, sehingga pada pagi harinya ia mulai dengan penuh semangat dan jiwanya pun sehat. Namun jika tidak, maka ia akan memasuki waktu pagi dengan jiwa yang keji dan penuh kemalasan.” (HR Muslim).

Nah, ternyata inilah hikmah adanya pelaksanaan shalat dua rakaat ringan (“Shalat Iftitah”) yang dikerjakan Nabi Saw sebelum beliau mendirikan shalat malam, yakni agar orang yang akan shalat malam itu lepas dari tiga ikatan yang diikatkan setan kepadanya. Shalat tersebut diringankan agar lebih cepat selesai dan hal itu akan mempercepat pula lepasnya ikatan setan dari dirinya. Perlu diingat bahwa pelaksanaan shalat sunnah dua rakaat secara ringan itu tetap harus memperhatikan tuma’ninah-nya, dan tidak dibenarkan melakukannya secara serampangan dan meninggalkan kekhusyukan. Wallahu a’lam.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar