Pengertian
“Shalat Iftitah”
“Shalat Iftitah”
merupakan istilah yang tidak dikenal
dalam kitab-kitab referensi Islam, baik hadits maupun fiqh. Ia adalah nama yang
dilabelkan kepada shalat sunnah dua rakaat ringan yang biasa dilakukan
Rasulullah Saw sebelum beliau menunaikan shalat tahajud di malam
hari. Tulisan ini tidak hendak membahas istilah “Shalat Iftitah”, namun
lebih menyoroti kepada tata cara pelaksanaannya dan keterkaitannya dengan
Shalat Tarawih.
Pada setiap bulan Ramadhan di sebagian masjid akan kita
temukan adanya pelaksanaan shalat sunnah dua rakaat secara berjamaah yang
waktunya antara shalat ba’diyah Isya dan Shalat Tarawih. Biasanya imam akan membaca surat
al-Fatihah secara jahr (namun ada juga yang sirr) kemudian rukuk
tanpa membaca salah satu surat dari al-Qur’an. Inilah yang sering diistilahkan
oleh orang-orang yang mengamalkannya sebagai “Shalat Iftitah”.
Dalil-dalil
Kesunnahan “Shalat Iftitah”
عَنْ عَائَشَةَ قَالَتْ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَا قَامَ مِنَ الَّيْلِ اِفْتَتَحُ صَلَاتَهُ
بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيْفَتَيْنِ –مسلم
Dari Aisyah ra berkata, “Adalah
Rasulullah Saw apabila bangun malam, beliau memulai shalat (malamnya) dengan
dua rakaat ringan.” (HR Muslim)
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِذَا قَامَ اَحَدُكُمْ مِنَ الَّيْلِ
فَلْيَفْتَتِحْ صَلَاتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيْفَتَيْنِ –مسلم
Dari Abu Hurairah ra berkata, “Bersabda
Rasulullah Saw, “Apabila salah seorang di antara kamu bangun malam, maka
mulailah shalat malamnya dengan dua rakaat ringan.” (HR
Muslim).
أَنَّ كُرَيْبًا مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ
أَنَّهُ قَالَ: سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ كَيْفَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاللَّيْلِ؟ قَالَ: بِتُّ عِنْدَهُ لَيْلَةً
وَهُوَ عِنْدَ مَيْمُونَةَ فَنَامَ، حَتَّى إِذَا ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ أَوْ
نِصْفُهُ اسْتَيْقَظَ فَقَامَ إِلَى شَنٍّ فِيهِ مَاءٌ فَتَوَضَّأَ، وَتَوَضَّأْتُ
مَعَهُ، ثُمَّ قَامَ فَقُمْتُ إِلَى جَنْبِهِ عَلَى يَسَارِهِ، فَجَعَلَنِي عَلَى
يَمِينِهِ، ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ عَلَى رَأْسِي كَأَنَّهُ يَمَسُّ أُذُنِي
كَأَنَّهُ يُوقِظُنِي، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ، قَدْ قَرَأَ فِيهِمَا
بِأُمِّ الْقُرْآنِ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ، ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ صَلَّى حَتَّى صَلَّى
إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً بِالْوِتْرِ ثُمَّ نَامَ
Kuraib bekas budak Ibnu
Abbas berkata, “Aku pernah bertanya kepada Ibnu Abbas, Bagaimanakah shalat
malam Rasulullah Saw?” Ibnu Abbas menjawab, “Aku pernah bermalam di sisi
beliau, ketika itu beliau berada di rumah Maimunah, beliau tidur sehingga
apabila sepertiga malam telah berlalu atau tengah malam, beliau bangun dan
pergi ke bejana yang berisi air. Beliau berwudhu dan aku pun ikut berwudhu
bersama beliau, lalu beliau berdiri dan aku pun berdiri di samping kiri beliau.
Kemudian beliau menempatkanku di sebelah kanan beliau, beliau meletakkan
tangannya di atas kepalaku seolah-olah menjewer telingaku dan membangunkanku,
kemudian beliau shalat dua rakaat ringan. Beliau membaca al-Fatihah di setiap
rakaatnya kemudian salam. Setelah itu beliau mengerjakan shalat hingga sebelas
rakaat beserta witirnya, lalu tidur.” (HR Abu Dawud).
Permasalahan
اِسْتَيْقَظَ بَعْضُهُمْ بِهَذَا الْحَدِيْثِ عَلَى
عَدَمِ مَشْرُوْعِيَّةِ قِرَأَةِ السُّوْرَةِ غَيْرِ الْفَاتِحَةِ فِي
رَكْعَتَيْنِ خَفِيْفَتَيْنِ لِظَاهِرِ الْحَدِيْثِ
Sebagian orang berkesimpulan dengan
hadits ini bahwa dalam pelaksanaan “Shalat Iftitah” tidak disyariatkan membaca
surat apa pun dari al-Qur’an setelah bacaan al-Fatihah pada setiap rakaatnya,
dan menurut mereka yang demikian itulah yang dinamakan dengan dua rakaat
ringan. Hal ini sesuai dengan zhahir-nya hadits tersebut. (Lihat kembali
HR Abu Dawud di atas).
Penjelasan
Tidak disebutkannya membaca surat dalam
hadits tersebut tidak berarti bahwa membaca surat setelah bacaan al-Fatihah
tidak disyariatkan. Kalau kita perhatikan kembali redaksi hadits riwayat Abu
Dawud di atas, ternyata di sana pun tidak disebutkan secara zhahir adanya
tasyahud. Apakah karena hal itu kemudian kita simpulkan dalam “Shalat
Iftitah” tidak disyariatkan tasyahud? Demikian halnya dengan kalimat, “
Beliau membaca al-Fatihah di setiap rakaatnya
kemudian salam...” Apakah hadits itu
kemudian akan dipahami bahwa Nabi Saw setelah membaca al-Fatihan langsung
salam? Tentu saja kesimpulan yang seperti itu keliru.
Jika kemudian yang
menjadi alasan tidak disyariatkannya membaca surat setelah bacaan al-Fatihah
karena ia merupakan dua rakaat ringan (khafifatain), maka ketahuilah
bahwa shalat sunnah dua rakaat sebelum subuh juga disebut sebagai dua rakaat
ringan (khafifatain), dan ternyata di dalamnya Nabi Saw membaca surat
setelah bacaan al-Fatihah. Simaklah hadits-hadits berikut ini:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ حَفْصَةَ أُمِّ
الْمُؤْمِنِيْنَ أَخْبَرَتْهُ، أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ مِنَ اْلأَذَانِ لِصَلاَةِ الصُّبْحِ،
وَبَدَا الصُّبْحُ، رَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تُقَامَ
الصَّلاَةُ
Dari Ibnu Umar, beliau berkata
bahwasanya Hafshah Ummul Mukminin telah menceritakan kepadanya bahwa dahulu
bila muadzin selesai mengumandangkan adzan untuk shalat subuh dan telah masuk
waktu subuh, Rasulullah Saw melaksanakan shalat sunnah dua rakaat dengan ringan
sebelum melaksanakan shalat subuh. ( HR Bukhari).
Aisyah ra berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءِ وَاْلإِقَامَةِ مِنْ
صَلاَةِ الصُّبْحِ
“Dahulu Nabi Saw shalat dua rakaat
ringan antara adzan dan iqamat shalat subuh.” (HR
Bukhari).
Aisyah ra berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يُخَفِّفُ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ الصُّبْحِ حَتىَّ إِنِّيْ
لأَقُوْلُ: هَلْ قَرَأَ بِأُمِّ الْكِتَابِ؟
"Nabi Saw meringankan dua rakaat
shalat sunnah subuh sebelum shalat fardhu Subuh, sampai-sampai aku bertanya,
“Apakah beliau membaca surat Al-Fatihah?" (HR
Bukhari dan Muslim).
Ketiga hadits di atas menginformasikan
pada kita bahwa shalat sunnah dua rakaat sebelum Subuh yang dikerjakan Nabi Saw
adalah dua rakaat ringan. Apakah Nabi Saw membaca surat di dalamnya? Mari kita
simak lagi hadits-hadits berikut ini:
Abu Hurairah ra berkata:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ فِيْ
رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ
“Rasulullah Saw membaca dalam dua
rakaat shalat sunnah subuh surat al-Kafirun dan surat al-Ikhlas.” (HR
Muslim).
Ibnu Abbas ra berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ فِي اْلأُوْلَى مِنْهُمَا
قُولُوا آمَنَّا بِاللهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا الْآيَةَ الَّتِي فِي
الْبَقَرَةِ وَفِي الْآخِرَةِ مِنْهُمَا آمَنَّا بِاللهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا
مُسْلِمُونَ
“Rasulullah Saw
dalam dua rakaat shalat sunnah subuh membaca ayat quuluu aamannaa billaahi wa maa unzila ilainaa (QS.
al-Baqarah: 136) pada rakaat pertama dan membaca aamannaa billaahi wasyhad
biannaa muslimuun (QS. Ali Imran: 52) pada
rakaat kedua.” ( HR Muslim).
Ibnu Abbas ra berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ قُولُوا آمَنَّا بِاللهِ وَمَا
أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَالَّتِي فِي آلِ عِمْرَانَ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ
سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ
"Rasulullah
Saw dalam dua rakaat shalat sunnah subuh membaca firman Allah quuluu aamannaa
billaahi wa maa unzila ilainaa (QS. al-Baqarah: 136) dan membaca ta’aalau ilaa kalimatin sawaa-in bainanaa
wa bainakum (QS. Ali Imran 64).”
(HR Muslim).
Ringkasnya, ada tiga jenis variasai
yang biasa dibaca Nabi Saw dalam shalat sunnah qabliyah subuh, yaitu:
- Rakaat pertama membaca surat al-Kafirun dan rakaat kedua membaca surat al-Ikhlas.
- Rakaat pertama membaca ayat dalam surat al-Baqarah: 136 dan rakaat kedua membaca ayat dalam surat Ali Imran: 52.
- Rakaat pertama membaca ayat dalam surat al-Baqarah: 136 dan rakaat kedua membaca ayat dalam surat Ali Imran: 64.
Berdasarkan hadits-hadits di atas
jelaslah bahwa di dalam khafifataini (dua rakaat ringan) tidak berarti
tidak disyariatkan membaca surat setelah bacaan al-Fatihah. Melaksanakan
shalat, baik wajib maupun sunnah, tanpa membaca surat adalah sah, namun hal itu
tidak boleh dijadikan sebagai sebuah kebiasaan karena Nabi Saw tidak
mengajarkan hal yang demikian itu. Dengan demikian, tidak membaca surat dalam
“Shalat Iftitah” adalah boleh, namun hendaknya tidak dijadikan kebiasaan,
apalagi difatwakan tidak disyariatkan karena hal itu tidak sesuai dengan
tuntunan Nabi Saw.
Keterkaitannya
dengan Shalat Tarawih
Sebelum
melaksanakan shalat malam kita dianjurkan terlebih dahulu mengawalinya dengan
shalat dua rakaat ringan, yang dewasa ini diberi label sebagai “Shalat Iftitah”
(dua rakaat pembuka). Berdasarkan tiga hadits yang disebutkan di awal tulisan
ini kita bisa melihat bahwa Nabi Saw melaksanakan “Shalat Iftitah” setelah
beliau bangun dari tidur, bukan sebelum tidur. Jika hal ini dikaitkan denga
Shalat Tarawih yang biasa dilakukan setelah Isya, maka menjadi kurang tepat
jika diawali dengan “Shalat Iftitah”, sebab ia dilakukan sebelum tidur. Lain
halnya jika shalat tarawih itu dilakukan di tengah malam setelah sebelumnya
tidur, maka tidaklah mengapa jika diawali dengan “Shalat Iftitah”. Selain itu,
shalat tarawih yang dilakukan langsung setelah shalat Isya juga menjadi kurang
tepat untuk diawali dengan “Shalat Iftitah”, mengingat sudah bukan iftitah
lagi, karena sudah didahului Shalat Isya empat rakaat dan shalat sunnah
ba’diyah Isya dua rakaat. Jika demikian adanya, di mana fungsinya sebagai
iftitah (pembuka)?
Mengapa Nabi
Melaksanakannya Setelah Bangun Tidur?
Hikmah
dianjurkannya mengawali shalat malam dengan dua rakaat ringan setelah bangun
tidur adalah agar tiga ikatan yang diikatkan setan di tengkuk manusia saat ia
tidur menjadi lepas, sehingga meringankannya menunaikan shalat malam. Simaklah
hadits berikut ini:
Abu Hurairah ra berkata bahwa Nabi Saw
bersabda:
يَعْقِدُ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ
أَحَدِكُمْ ثَلاَثَ عُقَدٍ إِذَا نَامَ، بِكُلِّ عُقْدَةٍ يَضْرِبُ عَلَيْكَ
لَيْلاًَ طَوِيْلاًَ، فَإِذَا اسْتَيْقَظَ فَذَكَرَ اللهَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ،
وَإِذَا تَوَضَّأَ انْحَلَّتْ عَنْهُ عُقْدَتَانِ، فَإِذَا صَلَّى انْحَلَّتْ
الْعُقَدُ، فَأَصْبَحَ نَشِيْطًا طَيِّبَ النَّفْسِ، وَإِلاَّ أَصْبَحَ خَبِيْثَ
النَّفْسِ كَسْلاَنَ
“Setan akan mengikat tengkuk
salah seorang dari kalian saat ia tidur dengan tiga ikatan. Dengan setiap
ikatan ia akan membisikkan padamu bahwa malam masih panjang. Jika ia terbangun
lalu berdzikir kepada Allah, lepaslah satu ikatan, jika ia berwudhu maka
lepaslah dua ikatan, dan jika ia melanjutkan dengan shalat, maka lepaslah
seluruh ikatan itu, sehingga pada pagi harinya ia mulai dengan penuh semangat
dan jiwanya pun sehat. Namun jika tidak, maka ia akan memasuki waktu pagi
dengan jiwa yang keji dan penuh kemalasan.”
(HR Muslim).
Nah, ternyata
inilah hikmah adanya pelaksanaan shalat dua rakaat ringan (“Shalat Iftitah”)
yang dikerjakan Nabi Saw sebelum beliau mendirikan shalat malam, yakni agar
orang yang akan shalat malam itu lepas dari tiga ikatan yang diikatkan setan
kepadanya. Shalat tersebut diringankan agar lebih
cepat selesai dan hal itu akan mempercepat pula lepasnya ikatan setan dari
dirinya. Perlu diingat bahwa pelaksanaan shalat sunnah dua rakaat secara ringan
itu tetap harus memperhatikan tuma’ninah-nya, dan tidak dibenarkan
melakukannya secara serampangan dan meninggalkan kekhusyukan. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar