Sabtu, 23 November 2024

Hukum Memandikan dan Mengiringi Jenazah Nonmuslim ke Pemakaman

Jika ada seorang muslim meninggal dunia, ia berhak untuk dimandikan, dikafani, dishalati dan dimakamkan. Kewajiban mengurus jenazah itu tentunya dibebankan kepada orang muslim yang masih hidup.

Lantas bagaimana jika yang meninggal dunia itu adalah orang nonmuslim? 

Menyalatinya jelas diharamkam sebagaimana ditegaskan Al-Qur`an dan ijma’ para ulama. Demikian sebagaimana keterangan yang terdapat dalam kitab al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab.

وَأَمَّا الصَّلَاةُ عَلَي الْكَافِرِ وَالدُّعَاءِ لَهُ بِالْمَغْفِرَةِ فَحَرَامٌ بِنَصِّ الْقَرْآنِ وَالْاِجْمَاعِ

“Adapun menyalati jenazah orang kafir dan memintakan ampun untuknya, hal itu adalah haram sebagaimana ketetapan nash Al-Qur`an dan ijma` ulama,” (Lihat: Imam Muhyiddin Syarf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Kairo-Dar al-Hadits, 1421 H/2010 M, juz, V, h. 190).

Lalu bagaimana dengan memandikan, mengiringi jenazah orang kafir, dan ikut memakamkannya? 

Dalam hal ini para pakar hukum Islam (fuqaha`) berselisih pendapat. Tetapi, menurut pendapat madzhab Syafi’i hal tersebut diperbolehkan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Imam Muhyiddin Syaraf An-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab berikut ini.

فيِ غُسْلِ الْكَافِرِ ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَنَا أَنَّ لِلْمُسْلِمِ غُسْلَهُ وَدَفْنَهُ وَاتِّبَاعَ جَنَازَتِهِ وَنَقَلَهُ ابْنُ الْمُنْذِرِ عَنْ أَصْحَابِ الرَّأْىِ وَأَبِى ثَوْرٍ وَقَالَ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ لَيْسَ لِلْمُسْلِمِ غُسْلُهُ وَلَا دَفْنُهُ لَكِنْ قَالَ مَالِكٌ لَهُ مُوَارَاتُهُ

“Tentang memandikan jenazah orang kafir, kami telah menyebutkan bahwa pendapat madzhab kami menyatakan, orang muslim boleh memandikan jenazah orang kafir, mengubur, dan mengiringi jenazahnya. Ibnul Mundzir menukilnya dari kelompok rasionalis (ashhab ar-ra’y) dan Abi Tsaur. Sedangkan menurut Imam Malik dan Ahmad, orang muslim tidak boleh memandikan dan menguburkan jenazah orang kafir. Tetapi Imam Malik menyatakan, ia (muslim) boleh ikut menguburnya,” (Lihat: Imam  Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, juz, V, h. 195).

Demikianlah. Semoga bermanfaat.